Rabu, 04 Desember 2013

SUAMI IDAMAN

NANGIS BACA INI.!
10 tahun Aku membenci Suamiku ][

Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannyatapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannyabersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas.

Sambil berusaha mengingat-ingatapa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat, kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon.

Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi.

Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.

Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya.
Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama.

Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat.

Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai.

Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu.

Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannyadi laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana.

Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah
karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas.

Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya.
Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannyauntuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note. Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya.Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

BUAT MENANGIS MEMBACANYA...

NANGIS BACA INI.!
10 tahun Aku membenci Suamiku ][

Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannyatapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannyabersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas.

Sambil berusaha mengingat-ingatapa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat, kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon.

Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi.

Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.

Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya.
Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama.

Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat.

Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai.

Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu.

Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannyadi laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana.

Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah
karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas.

Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya.
Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannyauntuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note. Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya.Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

Kamis, 13 Juni 2013

PROPOSAL KU

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK
MAKELAR HEWAN TERNAK DI DESA PUCANGOMBO
KECAMATAN TEGALOMBO
KABUPATEN PACITAN

PROPOSAL
 








Oleh:
MUHAMMAD UMAR SAIFUDDIN
NIM. 210209058

JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI MUAMALAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2012
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK
MAKELAR HEWAN TERNAK DI DESA PUCANGOMBO
KECAMATAN TEGALOMBO
KABUPATEN PACITAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pada zaman sekarang ini, banyak orang disibukkan dengan pekerjaan masing-masing, sehingga tidak ada waktu untuk menjual barang dagangannya atau mencari barang yang diperlukan. Namun ada pula orang yang waktunya lapang, tidak sibuk. Tetapi tidak mempunyai keahlian untuk memasarkan (menjualkan) barangnya, atau tidak tahu bagaimana cara memperoleh barang yang diperlukan.
Untuk memudahkan kesulitan tersebut, pada saat ini ada orang yang profesinya khusus menangani berbagai kegiatan. Dalam persoalan ini profisi tersebut adalah makelar (perantara). Dengan adanya makelar, ketiga belah pihak mendapat manfaat. Bagi makelar (perantara) atau biro jasa mendapat lapangan pekerjaan dan uang  jasa dari hasil pekerjaannya. Demikian juga orang yang memerlukan jasa mereka  yaitu pihak penjual dan pembeli mendapat kemudahan, karena ditangani oleh orang yang mengerti betul dalam bidangnya.
Pekerjaan di atas, mengandung unsur tolong menolong yang saling menguntungkan,  Ini sangat dianjurkan oleh Islam, sebagimana disebutkan dalam al-Qur’a>n sebagi berikut:
#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4   ÇËÈ

Artinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (QS. al-Mâidah: 2).[1]

Bentuk samsarah dewasa ini semakin berkembang di masyarakat baik di kota maupun di desa, baik bentuk maupun caranya. Kadangkala dalam pelaksanaan samsarah tersebut belum memenuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh shara’. Hal ini terjadi karena kebanyakan pelaku samsarah belum memahami secara sempurna konsep-konsep samsarah dalam Islam.
Pada dasarnya akad makelar diperbolehkan oleh Islam sebagaimana disebutkan dalam beberapa nas{s} di bawah ini:
1.      ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$sù £`èduqã_é& ...(الطّلاق 6 )[2]
Artinya: “jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah  kepada mereka upahnya”.
2.      $ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& Ï Šqà)ãèø9$$Î/ ...(الما ئدة : ا )
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[3]

3.      أُعْطُوا الْاَ جِيْرَ اَجْرَهُ قَبْلَ اَ نْ يَجِفَ عَرَ قُهُ
Artinya: "Dari Ibnu umar bahwa Rasulullah bersabda," Berikanlah upah pekerja   sebelum keringatnya kering"
( HR.Ibnu Majah )[4]

4.      عَنْ ابْنُ سَعِيْدُ الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِي صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ إِسْتَأْجَرَأَجيْرًا فَلْيُسَمَّ لَهُ أُجْرتَهُ (رواه عبدالرزاق)

Artinya: “Dari Abu Said Al-Khudri r.a. bahwa Nabi SAW. Pernah berkata, “Barangsiapa mempekerjakan buruh hendaknya menjelaskan kepadanya berapa upahnya.” (H.R. Abdurrazak).

5.      بِعْ هَذَا الثَّوَابَ فَمَا زَادَ عَلَي كَذَا َوكَذَا فَهُوَ لَكَ
Artinya: “jualah pakaian ini seranya lebih dari sekian, maka untuk Anda”.[5]

Di samping makelar yang diperbolehkan menurut hukum Islam, Adapula pemakelaran yang dilarang atau tidak diperbolehkan oleh Islam yaitu :
1.    Jika pemakelaran tersebut memberikan kerugian dan mengandung kezhaliman.
2.    Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap penjual.[6]
Realita pelaksanaan makelar  banyak dipraktikkan oleh masyarakat Islam, diantaranya dilakukan oleh  masyarakat Desa Pucangombo Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan. Ketika masyarakat terdesak dengan kebutuhan mendadak ataupun saat hewan mereka sudah besar, mereka akan menjual hewan mereka. Dalam hal ini biasanya mereka menggunakan jasa makelar yang ada di desa tersebut sehingga mereka akan lebih mudah untuk menjual hewan mereka.
Akad makelar yang terjadi di Desa Pucangombo  Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan yaitu ketika para peternak hewan akan menjual hewan mereka, maka akan menadatangi seorang makelar hewan yang ada di desa tersebut, kemudian pihak penjual akan menyampaikan maksud dan tujuan mereka datang kepada makelar, yaitu akan menjual hewan, dengan akad seperti ucapan “pak saya minta tolong kepada bapak untuk menjualkan hewan ternak saya? apakah bapak bersedia menjualkan hewan ternak saya?”  kemudian pihak makelar menjawab “ia saya siap”. Kemudian pihak makelar akan melihat hewan yang akan dijual. Setelah itu pihak makelar akan menanyakan “berapa harganya?” kemudian pihak penjual akan menawarkan harga hewan mereka, dengan menyebutkan harga tawar, seperti “saya jual hewan saya dengan harga Rp 1000.000,00”.
Seorang makelar dalam melaksanakan pekerjaanya mengharapkan keuntungan atau upah yang akan didapatkanya. Dalam mencari keuntungan atau upah bagi makelar yang ada di Desa Pucangombo  Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan ada berapa cara yang mereka lakukan:
1.    Pihak makelar akan mendapatkan imbalan secara langsung dari penjual, apabila berhasil menjualkan hewannya. Misalnya dengan mengatakan, “jika kamu berhasil menjual sapi saya, maka kamu mendapatkan upah sebesar Rp 200.000,00”. Jadi upah makelar langsung bisa diketahui oleh pihak makelar ketika akad terjadi.
2.    Makelar mendapatkan upah dari pihak penjual dan pembeli dengan mensyaratkan dalam akadnya upah dari keduabelah pihak sekaligus.
3.    Makelar mendapatkan upah dari kelebihan harga yang ditawarkan oleh pihak penjual, di sini pihak makelar akan mendapatkan imbalan dari selisih harga yang ditawarkan penjual, pihak penjual hanya mengatakan berapa harga hewan mereka, dan akan mengambil uang hasil penjualan sesuai dengan harga dalam perjanjian, selebihnya untuk makelar sebagai upah baginya.[7]
Berdasarkan pengamatan sementara oleh peneliti, ada kejanggalan dalam ak ad makelar tersebut, yaitu pada saat menentukan keuntungan atau upah. Pada cara pengambilan upah yang ketiga, yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Pucangombo  Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan dengan cara tidak menentukan upah dengan pasti, yaitu tidak menyebutkan jumlah upah yang akan di peroleh mekelar dari hasil kerja mereka.
Dalam pandangan hukum Islam, pengupahan harus di sebutkan jumlah upah sehingga tidak terjadi kesenjangan dikemudian hari.[8] Yang mengakibatkan kesenjangan sosial di antara makelar dan pihak penjual.[9] Ketentuan upah harus jelas telah di tetapkan dalam sabda Rasulullah sebagai berikut:
عَنْ ابْنُ سَعِيْدُ الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِي صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ إِسْتَأْجَرَأَجيْرًا فَلْيُسَمَّ لَهُ أُجْرتَهُ (رواه عبدالرزاق)
Artinya: “Dari Abu Said Al-Khudri r.a. bahwa Nabi SAW. Pernah berkata, “Barangsiapa mempekerjakan buruh hendaknya menjelaskan kepadanya berapa upahnya.”(H.R. Abdurrazak).

Dari hadits diatas maka bisa kita pahami, yaitu jika kita mempekerjakan seseorang harus menentukan upah dengan jelas. Karena seorang makelar juga termasuk buruh, maka dalam pengupahan juga harus jelas dalam menentukan upahnya, sedangkan pratek makelar yang ada di Desa Pucangombo  Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan yang ketiga di atas tidak menetukan upah secara jelas, maka akan mempunyai banyak celah untuk melakukan kedholiman (kecurangan). Sebagaimana firman Allah swt berikut ini:
لَا تُظْلِمُوْنَ وَلَا تُظَلَمُوْنَ ( البقرة: 279)

Artinya: “kamu tidak menganiaya dan tidak(pula)dianiaya”.[10]

Sehubungan dengan hasil pengamatan penyusun mengenai bentuk penentuan upah tersebut, penyusun berpendapat bahwa dalam praktik makelar tersebut terdapat beberapa hal yang menarik untuk diteliti, yaitu: 
1.    Mengenai transaksi makelar Termasuk transaksi apa dalam hukum Islam.
2.    Kemudian mengenai sistem pengupahan tersebut apakah sudah sesuai dengan hukum Islam.
3.    Dan mengenai penyelesaian sengketa, sudahkah sesuai dengan hukum Islam.  
Berdasarkan uraian di atas, maka penyusun ingin melakukan pembahasan lebih mendalam dalam bentuk skripsi dengan mengambil sebuah judul: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK MAKELAR HEWAN DI DESA PUCANGOMBO  KECAMATAN TEGALOMBO KABUPATEN PACITAN
B.    Penegasan Istilah
1.    Hukum Islam yang dimaksud adalah hukum Islam yang besumber pada Nas{s{ al-Quran dan hadits serta bersumber pada ijtiha<d para ulama.[11] Namun yang penulis maksud hukum Islam disini yang berkaitan dengan samsarah, sedangkan pekerjaan samsarah menurut pandangan Islam adalah termasuk akad ijarah, yaitu suatu perjanjian memanfaatkan suatu barang, misalnya rumah, atau orang, misalnya pelayan, atau pekerjaan atau keahlian seorang ahli, mislanya jasa pengacara, konsultan, dan sebagainya.[12]
2.    Makelar adalah Proses menjualkan barang orang lain dengan pemberian upah dari si pemilik barang.[13] Namun yang dimaksud disini adalah praktik jasa perantara, yaitu perantara antara penjual dan pembeli hewan ternak di Desa Pucangombo  Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan
3.    Hewan adalah hasil peternakan msyarakat di Desa Pucangombo  Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan, seperti hewan sapi, kambing, domba.
C.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik makelar di Desa Pucangombo  Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan ?
2.    Bagaimanakah tinjauan hukum Islam terhadap pratek pengupahan dalam makelar hewan di Desa Pucangombo  Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan ?
3.    Bagaimanakah tinjauan hukum Islam terhadap penyelesaian sengketa dalam praktik makelar ?
D.    Tujuan Penelitian
1.    Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap praktik makelar di Desa Pucangombo  Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan.
2.    Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap sistem penentuan upah makelar di Desa Pucangombo  Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan.
3.    Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap penyelesaian sengketa dalam transaksi makelar.
E.     Kegunaan Penelitian
1.    Bagi kepentingan ilmiah (teoritis), sebagai sumbangsih pemikiran untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam hukum Islam terutama yang berkaitan dengan kegiatan muamalah yaitu samsarah (makelar).
2.    Bagi kepentingan terapan (praktis), sebagai sumbangan moril yang berarti bagi masyarakat, yang dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam melakukan aktivitas perekonomian terutama makelar, khususnya bagi masyarakat di Desa Pucangombo  Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan.
F.     Telaah Pustaka
Sejauh pengetahuan penulis belum banyak karya tulis yang membahas tentang makelar. yang secara khusus membahas tentang makelar hewan ternak di Desa Pucangombo Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan belum ada. Dengan demikian penulis beranggapan bahwa penelitian ini masih layak dilakukan.
Diantara karya tulis yang dapat penulis temukan adalah skripsi tahun 2011 oleh Yustina Oktaviani yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap praktik Makelar Pada Jual Beli Mobil Bekas Di Oto Bursa Maospati” di dalam skripsi ini beliau membahas tentang bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap akad makelar dalam jual beli mobil bekas di OTO Bursa Maospati dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap keuntungan yang diperoleh makelar dalam jual beli mobil di OTO bursa maospati. Kemudian hasil penelitian beliau ialah, tata cara akad di dalam jual beli mobil di OTO bursa maospati sudah sesuai dengan akad dalam ijarah, karena sudah terpenuhi syarat dan rukunnya, sedangkan akad samsarah ‘ala samsarah  tidak dibolehkan karena adanya dua akad dalam satu transaksi. Dan  penentuan keuntungan dalam jual beli mobil di OTO bursa maospati dengan cara ditentukan sendiri sudah sesuai  dengan hukum Islam, karena dikembalikan kepada ‘urf (adat kebiasaan), sedangkan penentuan keuntungan dari samsarah ‘ala samsarah tidak sah menurut hukum Islam.[14]
Berdasarkan penulusuran hasil penelitian di atas, penelitian tentang praktik makelar hewan Di Desa Pucangombo Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan belum pernah dilakukan, sehingga penulis tergelitik untuk mengambil masalah dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap praktik Makelar Hewan Di Desa Pucangombo Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan.

G.    Metode Penelitian
1.    Jenis Penelitian
            Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan(field research), yaitu penelitian yang dilakukan di lapangan guna mendapatkan data yang diperlukan. Dalam operasionalnya, penelitian ini berupaya untuk mendapatkan data-data yang berkenaan dengan praktik makelar secara langsung dari sumbernya. Penggalian data dari sumber informan di lapangan, ini menandkan bahwa penelitian ini adalah penelitian lapangan. 
2.    Pendekatan
            Adapun pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian.[15] Karena penelitian ini untuk memahami fenomena tentang sistem makelar yang ada di Desa Pucangombo Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan, maka pendekatan yang di gunakan adalah kualitatif.
3.    Lokasi Penelitian
Lokasi dalam penelitian ini di lakukan di Desa Pucangombo Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan. Karena penulis memandang masih banyak kaum Muslimin yang belum memahami secara mendalam tentang bagaimana bermuamalah secara syar’i, kususnya mengenai penentuan upah dalam akad samsyarah.
4.    Data Dan Sumber Data
                        Untuk lebih mempermudah penelitian ini, penulis berupaya menggali data dari lapangan yang berkaitan dengan transaksi makelar, diantaranya:
a.    Data praktik makelar di Desa Pucangombo  Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan.
b.    Data sistem penentuan upah makelar di Desa Pucangombo  Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan.
c.    Data  penyelesaian sengketa dalam transaksi makelar di Desa Pucangombo  Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan.
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah kata-kata atau informasi  yang penulis dapatkan dari informan. Informan yang penulis maksud adalah pihak-pihak yang paham dan kompeten tentang praktik makelar di Desa Pucangombo Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan. Informan tersebut adalah para pelaku dan pengguna jasa makelar yaitu para peternak selaku penjual dan dari pihak makelar sebagai penyedia jasa makelar.


5.    Teknik Pengumpulan Data
                        Dalam pengumpulan data-data, penulis menggunakan metode sebagai berikut:
a.    Interview (wawancara) yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) dengan mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai memberi jawaban atas pertanyaan.[16] Dalam penggalian data, penulis langsung mewawancarai pelaku makelar di Desa Pucangombo Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan, sehingga dalam penelitian ini teknik interview perlu digunakan.
b.    Observasi (pengamatan), dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan  secara  sistematis  mengenai  fenomena-fenomena yang diteliti,[17] Dalam hal ini adalah mengamati fenomena-fenomena tentang praktik makelar di Desa Pucangombo Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan.
c.    Dokumentasi yaitu perolehan data-data dari dokumen-dokumen dan lain-lain.[18] Untuk menguatkan data-data dalam penelitian, maka mendokumentasikan data-data yang didapatkan dalam penelitian  sangat penting.
6.    Teknik Pengolahan Data
                        Dalam membahas dan menganalisa pelaksanaan makelar menurut hukum Islam maka penulis menggunakan metode deduktif. Metode deduktif adalah pembahasan yang dimuai dengan mengemukakan pada data-data yang umum, kemudian diaplikasikan dalam satuan-satuan khusus dan mendetail. Jadi setelah penulis mendapatkan data-data mengenai samsarah yang terjadi di Desa Pucangombo Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan, maka penulis akan menyimpulkan penelitian dengan kesimpulan yang khusus dan mendetil.
H.    Sistematika Pembahasan
Agar sistematis pembahasan skripsi ini dibagi menjadi lima bab, setiap bab terdiri dari sub-sub bab yang dapat penulis gambarkan sebagai berikut:
BAB I    : PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pola dasar yang memberikan gambaran secara umum dari seluruh skripsi yang melatarbelakangi penulisan skripsi ini, yang kemudian meliputi: latar belakang masalah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, kajian pustaka dan sistematika pembahasan. Sehingga pada bab ini sangat penting untuk diadakan pada penulisan karya tulis ini, dan kemudian kami beri subbab “Pendahuluan
BAB II       : KONSEP SAMSARAH DAN SISTEM PENGUPAHANNYA DALM ISLAM
Bab ini merupakan landasan teori atau konsep samsarah dalam hukum Islam yang mengetengahkan pokok-pokok pembahasan seputar pengertian samsarah, dasar hukum samsarah, rukun serta syarat samsarah, sistem pengupahan dalam hukum Islam. Sehingga pada subbab ini kami beri judul “Konsep Samsarah Dan Sistem Pengupahanya”.
BAB III :PELAKSANAAN MAKELAR DI DESA PUCANGOMBO    KECAMATAN TEGALOMBO KABUPATEN PONOROGO
Dalam bab ini akan membahas mengenai gambaran secara umum tentang obyek penelitian, dan bagaimana pelaksanaan makelar di Desa Pucangombo Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan. Karena pada bab ini membahat realita yang didapat dalam penelitian, maka pada sub bab ini kami beri judul “Pelaksanaan Makelar Di Desa Pucangombo Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan”.
BAB IV : ANALISA HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK MAKELAR HEWAN DI DESA PUCANGOMBO KECAMATAN TEGALOMBO KABUPATEN PACITAN
Bab ini akan membahas mengenai analisa hukum Islam terhadap praktik makelar dan penentuan upah dan penyelesaian sengketa dalam makelar di desa Pucangombo Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan, sehingga pada subbab ini kami beri judul “Analisa Hukum Islam Terhadap Praktik Makelar Hewan Di Desa Pucangombo Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan
BAB V  : PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir dari pembahasan skripsi ini yang berisi tentang kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan permasalahan, serta saran-saran dari penulis yang merupakan harapan penulis yang ditujuakan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam praktik makelar hewan di desa Pucangombo Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan. maka Dalam subbab ini pemulis beri judul “Penutup”.




DAFTAR PUSTAKA
A. Mas’adi, Ghufran. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta, 1998.
Azhar Basyir, Ahmad. Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah. Bandung: Al-Ma’arif, 1973.
Departemen, Agama RI. Al-Qur’an Dan Terjemahnya. Bandung: CV. Penerbit Jamanatul ‘Ali-Ard, 2005.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004.
Mas’ud, Ibnu. Fiqh Madzhab Syafi’i (Edisi Lengkap) Buku 2. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Moleong, Lexy. Metode Penelitian Kualitatif.  Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2005.
Oktaviani, Yustina. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Makelar Pada Jual Beli Mobil Bekas Di Oto Bursa Maospati. Skripsi, STAIN Ponorogo, 2011.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, Juz 13, terj. Kamaluddin A. Marzuki. Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987.
Sudrajat, Ajad. Fiqh Aktual. Ponorogo: Stain Ponorogo Press, 2008.
Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah.  Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 1997.
Hasil wawancaradengan Bapak Mispan  pada tanggal  26 Oktober 2012.
http:www.blog ana semy makelar.htm. diakses pada tanggal 12 november 2012.






[1] Al-Qur’a>n, 5: 2.
                [2] Al-Qur’a>n, 65: 6.              
                [3] Al Qura’a>n, 5: 1.
              [4] Ajad Sudrajat,  Fiqh Aktual  (Ponorogo: Stain Ponorogo Press, 2008), 286.
                [5] Ibid., 286.
                [6] http//www.blog ana semy makelar.htm (diakses pada tanggal 12 november 2012)
                [7] Hasil wawancara dengan Bapak Mispan  pada tanggal  26 Oktober 2012, jam .
                [8] Ibnu Mas’ud, Fiqh Madzhab Syafi’i (Edisi Lengkap) Buku 2 (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 139.
                [9] Ghufran A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 186.
                [10] Al-Qur’a>n, 1: 279.
                [11] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), 24.
                [12]Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah  (Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 1997), 127.
                [13] Ibnu Mas’ud, Fiqh Madzhab Syafi’I, Buku 2 (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 50.
                [14] Yustina Oktaviani, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Makelar Pada Jual Beli Mobil Bekas Di Oto Bursa Maospati, (skripsi, STAIN Ponorogo, 2011), 64.
[15] Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif  (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2005), 6.
[16] Ibid., 135.
[17] Sutrisno Hadi, Metodologi Research  (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004), 151.
[18] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), 146.