Rabu, 23 Mei 2012

ASURANSI SYARIAH


ASURANSI SYARI’AH
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“FATWA-FATWA UNDANG-UNDANG LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH”




Disusun oleh:
MUHAMMAD UMAR SAIFUDDIN
LIA HIDAYATI

Dosen Pengampu:
AMIN WAHYUDI


PROGAM STUDI MU’AMALAH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PONOROGO
2012

PENDAHULUAN
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT tuhan semesta alam. Tak lupa shalawat dan salam kita haturkan ke baginda Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Pada kesempatan kali ini kami memilih tema “Asuransi Syariah” untuk makalah ini. Seperti yang kita ketahui bahwa saat ini Ilmu Ekonomi Islam sedang mengalami perkembangan yang pesat. Diawali dengan Perbankan Syariah, Asuransi Syariah, Reksadana Syariah, dll. Sehingga penulis ingin mendalami tentang asuransi syariah, oleh karena itu pada kesempatan ini kami akan membahas tentang.
kami menyadari bahwa penulisan makalah ini belum sempurna, dan masih banyak kesalahan. Oleh karena itu penulis dengan senang hati menerima masukan berupa kritik atau saran yang membangun dari pembaca sekalian. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak AMIN WAHYUDI selaku dosen mata kuliah fatwa-fatwa UU lembaga keuangan syariah dan teman-temang yang selalu mendukung dalam proses penyusunan makalah ini.
kami berharap semoga hasil makalah ini berguna dan bermanfaat bagi semua pembaca, agar pembaca sekalian dapat mengambil pengetahuan dari makalah yang telah kami buat.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian asurasi syariah?
2.      Bagaimana akat akat dalam asuransi syariah?
3.      Syarat apa saja yang harus di penuhi dalam mendirikan asuransi syariah?



PEMBAHASAN

     I.     PENGERTIAN ASURANSI SYARIAH
Menurut Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah bagian pertama menyebutkan pengertian Asuransi Syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk mengehadapi resiko tertentu melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan syariah.
Asuransi syariah bersifat saling melindungi dan tolong menolong yang dikenal dengan istilah ta’awun, yaitu prinsip yang saling melindungi dan saling tolong menolong atas dasar ukhuwah Islamiyah antara sesama anggota asuransi syariah dalam menghadapi hal tak tentu yang merugikan.
Definisi Asuransi menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian Bab 1, Pasal 1: “Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima  premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu  peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran  yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”. Selain pengertian tersebut banyak definisi mengenai asuransi, yaitu:
o   Konsep Sederhana
Suatu persediaan yang disiapkan oleh sekelompok orang yang bias tertimpa kerugian guna menghadapi kejadian yang tidak dapat diramalkan sehingga bila kerugian tersebut menimpa salah seorang di antara mereka maka beban kerugian akan disebarkan ke seluruh kelompok.
o   Pengertian Ekonomi
Suatu aransemen ekonomi yang menghilangkan atau mengurangi akibat yang merugikan di masa dating karena berbagai kemungkinan sejauh menyangkut kekayaan (vermoegen) seorang individu.
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta  asuransi.
  II.     DASAR HUKUM
Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang perasuransian. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 246, yaitu: ”Asuransi adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu.”
Pengertian diatas tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi Asuransi Syariah karena tidak mengatur keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah, serta tidak mengatur teknis pelaksanaan kegiatan asuransi dalam kaitannya kegiatan administrasinya. Pedoman untuk menjalankan usaha asuransi syariah terdapat dalam Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang ada, tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan kegiatan Asuransi Syariah.
Tetapi fatwa DSN-MUI tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dalam Hukum Nasional karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Agar ketentuan Asuransi Syariah memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan yang termasuk peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia meskipun dirasa belum memberi kepastian hukum yang lebih kuat, peraturan tersebut yaitu Keputusan Menteri Keuangan RI No.426/KMK.06/2003, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 424/KMK.06/2003 dan Keputusan Direktorat Jendral Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000. Semua keputusan tersebut menyebutkan mengenai peraturan sistem asuransi berbasis Syariah.
III.     MUDHARABAH MUSYTARAKAH PADA ASURANSI SYARIAH
A.    Alasan Penetapan
*   Bahwa fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah khususnya mengenai akad Tijarah (Mudharabah) belum memuat akad Mudharabah Musytarakah.
*   Bahwa akad Mudharabah Musytarakah untuk asuransi syariah sangat diperlukan oleh industri asuransi syariah.
*   Bahwa fatwa Mudharabah Musytarakah untuk asuransi syariah perlu dibuat secara khusus sebagai implementasi dari fatwa DSN No.50/DSN-MUI/III/2006 tentang Mudharabah Musytarakah.
*   Bahwa oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah untuk dijadikan pedoman.
B.     Ketentuan Hukum
ü   Mudharabah Musytarakah boleh dilakukan oleh perusahaan asuransi, karena merupakan bagian dari hukum Mudharabah.
ü  Mudharabah Musytarakah dapat diterapkan pada produk asuransi syariah yang mengandung unsur tabungan (saving) maupun non tabungan.
IV.     TABARRU' PADA ASURANSI SYARI'AH.
A.    Alasan Menetapkan Fatwa
*   Bahwa fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah dinilai sifatnya masih sangat umum sehingga perlu dilengkapi dengan fatwa yang lebih rinci.
*   Bahwa salah satu fatwa yang diperlukan adalah fatwa tentang Akad Tabarru’ untuk asuransi.
*   Bahwa oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang Akad Tabarru’ untuk dijadikan pedoman.
B.     Ketentuan Hukum
*    Akad Tabarru’ merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi.
*   Akad Tabarru’ pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan antar peserta pemegang polis.
  V.     WAKALAH BIL UJRAH PADA ASURANSI SYARIAH
A.    Alasan Penetapan Fatwa
*   Bahwa fatwa DSN No.10/DSN-MUI/2000 tentang Wakalah dan fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah dinilai sifatnya masih sangat umum sehingga perlu dilengkapi dengan fatwa yang lebih rinci.
*   Bahwa salah satu fatwa yang diperlukan adalah fatwa tentang Wakalah bil Ujrah untuk asuransi, yaitu salah satu bentuk akad Wakalah di mana peserta memberikan kuasa kepada perusahaan asuransi dengan imbalan pemberian ujrah (fee).
*    Bahwa oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang Wakalah bil Ujrah untuk dijadikan pedoman.
VI.     KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH
A.    Pertimbangan Di Sahkanya Kmk Republik Indonesia Nomor 424/Kmk.06/2003
*   Bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam industri perasuransian nasional, perlu dilakukan penyesuaian secara menyeluruh terhadap ketentuan menganai Perizinan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 223/KMK.017/1993
*    Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
VII.     IZIN USAHA PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH
A.  Persyaratan Dan Tata Cara Menperoleh Izin Usaha Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi Dengan Prinsip Syariah
*   Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan Prinsip Syariah dengan cara:
1.    Pendirian baru Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah.
2.    Konversi dari Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional menjadi Perusahaan Asuransi dengan Prinsip Syariah atau konversi dari Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional menjadi Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah.
3.    Pendirian kantor cabang baru dengan Prinsip Syariah dari Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional atau Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional.
4.    Konversi dari kantor cabang Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional menjadi kantor cabang dengan Prinsip Syariah dari Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional, atau konversi dari kantor cabang Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional menjadi kantor cabang dengan Prinsip Syariah dari Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional.
*   Konversi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud di atas, harus memenuhi persyaratan  ketentuan sebagai berikut:
1.    Tidak merugikan tertanggung atau pemegang polis.
2.    Memberitahukan konversi tersebut kepada pemegang polis.
3.    Memindahkan portofolio pertanggungan ke perusahaan asuransi konvensional lain atau membayarkan nilai tunai pertanggungan, bagi tertanggung atau pemegang polis yang tidak bersedia menjadi tertanggung atau pemegang polis dari perusahaan asuransi dengan Prinsip Syariah.
*   Selain harus memenuhi ketentuan di atas, pendirian konversi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah harus pula menyampaikan:
1.      Bukti pendukung bahwa tenaga ahli yang dipekerjakan memiliki keahlian dibidang asuransi dan atau ekonomi syariah.
2.      Bukti pengesahan Dewan Syariah Nasional tentang penunjukan Dewan Pengawas Syariah Perusahaan.
3.      Bukti pengesahan Dewas Pengawas Syariah Perusahaan atas produk asuransi yang akan dipasarkan yang sekurang-kurangnya meliputi:
a.    Dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi, dan asset share atau profit testing bagi Perusahaan Asuransi Jiwa.
b.    Dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi, dan proyeksi underwrting bagi Perusahaan Asuransi Kerugian.
c.    Cara pemasaran.
d.   Rencana dukungan reasuransi otomatis bagi Perusahaan Asuransi dan rencana dukungan retrosesi bagi Perusahaan Reasuransi.
e.    Contoh polis, surat permohonan penutupan asuransi (SPPA) dan brosur.
4.      Pedoman pelaksanaan manajemen keuangan sesuai syariah yang sekurang-kurangya mengatur mengenai penempatan investasi baik batas jenis maupun jumlah.
5.      Pedoman penyelenggaraan usaha sesuai syariah yang sekurang-kurangnya mengatur mengenai penyebaran risiko.

PENUTUP
RINGKASAN
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/ KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusa­haan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa ”Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah…” Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 3-4 mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, Pasal 32 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi konvensional, dan Pasal 33 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 424/ KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.


HJV

AKAD JUAL BELI GABAH


RESUMAN SEKRIPSI
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK
JUAL BELI GABAH DI DESA TANJUNGREJO
KECAMATAN KEBONSARI
KABUPATEN MADIUN

Resuman ini diajukan untuk memenuhi tugas pada matakuliah “Metode Penelitian”



 










Oleh:
MUHAMMAD UMAR SAIFUDDIN
NIM. 2110209058

Dosen Pengampu:
AJI DAMANURI, M.E.I

JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI MUAMALAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2012
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK JUAL BELI GABAH DI DESA TANJUNGREJO KECAMATAN KEBONSARI KABUPATEN MADIUN
Oleh: IRCHAM JUNAIDI(NIM. 242042018)
I.         KONSEP JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM.
A.      Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli
1.         Pengertian Jual Beli
Kata jual dalam bahasa Arab adalah بيع yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja يبيع - بيع -باع  artinya menjual,[1]  sedangkan kata beli dalam bahasa Arab dikenal dengan  شراء yaitu masdar dari kata شرى – يشرى – شراء artinya membeli.[2] Jadi kata jual dan beli mempunyai arti yang satu sama lainnya bertolak belakang, kata jual menunjukkan perbuatan menjual, sedangkan beli adalah perbuatan membeli.
Pengertian jual beli menurut istilah adalah pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.  Menurut ulama madhhab Hanbali jual beli adalah saling menukar harta dalam bentuk pemindahan pemilikan. Dalam hal ini mereka memberi penekanan pada kata “pemilikan” karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki seperti sewa-menyewa.[3]
Inti dari jual beli antara lain adalah sebagai berikut:
a.    Pertukaran harta antara dua pihak atas dasar saling rela.
b.    Memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yaitu berupa alat tukar yang sah dalam lalu lintas perdagangan.
Cara pertama yaitu pertukaran harta atas dasar saling rela itu dapat dikatakan jual beli dalam bentuk barter (dalam pasar tradisional), sedangkan dalam cara yang kedua, berarti barang tersebut dipertukarkan dengan alat ganti yang dapat dibenarkan.
2.         Dasar Hukum Jual Beli
Dasar hukum tersebut diantaranya:
a.    Al-Qur’an
... 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4  ... ÇËÐÎÈ  
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB ... ÇËÒÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”.[4]
b.    Al-Hadits
عَنْ رِفَاعَةِ بْنِ رَافِعٍ أَنَّ النَّبِيَ ص.م. سُئِلَ: أَيُّ اْلكَسْبِ أَطْيَبُ ؟ قَالَ: عَمَلٌ الرَّجُلِ بِيَدِهِ، وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ. (رَوَاهُ البزار وَصَحَحَهُ اْلحََاكِمُ)
Artinya: Dari Rifâ’ah ibn râfi’, sesungguhnya Nabi saw ditanya apa perolehan yang baik-baik? Beliau menjawab: “bekerja dengan tangan sendiri dan tiap jual beli yang mabrur.”[5]
عَنْ اَبِي دَاوُوْدَ بْنِ صَالِحْ المَدَنِيْ، عَنْ اَبِيْهِ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا سَعِيْدِ اْلخُدْرِيّ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص. م. إِنَّمَا اْلبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ. (رَوَاهُ إِبْنِ مَاجَهْ)
Artinya: Dari Abî Dâwûd ibn Sâlih al Madanî dari ayahnya, dia berkata: Aku mendengar Abâ Sa’îd al Khudrî berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu atas dasar suka sama suka (rela).”
c.      Ijma’
Para ulama telah sepakat bahwa Jual beli sudah berlaku (dibenarkan) sejak zaman Rasulullah Saw hingga hari ini.  Kebolehan jual beli berdasarkan alasan bahwa manusia tidak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri tanpa adanya bantuan orang lain.[6] Sebagai contoh, seseorang yang mempunyai banyak uang tetapi dia tidak mempunyai bahan makanan, maka secara otomatis dia harus menukarkan uangnya dengan orang yang mempunyai bahan makanan, dan hal ini tentu terjadi melalui kegiatan jual beli.


B.       Rukun dan Syarat Jual Beli
1.    Rukun Jual Beli
Jumhur Ulama menyatakan bahwa rukun jual beli adalah sebagai berikut:
a.      Ada orang yang beraqad atau al-‘âqidain (penjual dan pembeli)
b.     Ada sîghat (lafaz îjâb dan qabûl)
c.      Ada barang yang  diperjualbelikan dan alat penukar barang.[7]
Dalam perbuatan jual beli, ketiga rukun tersebut hendaklah dipenuhi, sebab jika salah satu rukun tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jual beli.
2.     Syarat Jual Beli
Jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat jika masing-masing rukun yang ada tersebut memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh shara’. Berikut ini dijelaskan syarat-syarat jual beli:
a.    Syarat Subyak (‘âqid)
1)     Tamyîz (berakal)
2)     Atas kehendak sendiri
3)     Bukan pemboros (mubazîr)
4)     Baligh
b.    Syarat sah aqad (Îjâb dan Qabûl)
Aqad adalah suatu perikatan antara îjâb dan qabûl dengan cara yang dibenarkan shara' yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya. Îjâb berarti ucapan pihak pertama yang mempunyai tujuan untuk hal yang diinginkan sedangkan qabûl adalah pernyataan pihak kedua yang bertujuan menerima.
c.    Syarat obyek
Dalam buku Terjemah Bidâyat al-Mujtahid yang diterjemahkan oleh Abdurrahman dan Haris Abdullah menguraikan bahwa syarat-syarat barang yang menjadi obyek aqad haruslah diketahui kadar, sifat, wujud dan diketahui pula masanya, serta dapat diserahterimakan, sehingga dapat terhindar dari kesamaran dan riba. Secara umum syarat barang yang diperjual belikan adalah:
1)     Suci
2)     Dapat dimanfaatkan
3)     Milik orang yang melakukan aqad
4)     Dapat diserahkan
5)     Dapat diketahui barangnya
6)     Barang yang ditransaksikan ada di tangan
7)     Barang atau uang dijadikan objek transaksi itu mestilah sesuatu yang diketahui secara transparan, baik kualitas maupun kuantitasnya.[8]
C.      Macam-macam Jual Beli
Jumhur ulama membagi jual beli menjadi  dua, sebagaimana yang dijelaskan  Rachmat Syafi'i yaitu sebagai berikut:[9]
a.    Jual beli sah (sahîh) yaitu jual beli yang memenuhi ketentuan shara’  baik rukun maupun syaratnya.
b.    Jual beli tidak sah yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu rukun dan syarat jual beli sehingga jual beli menjadi menjadi rusak (fasid) atau batal.
D.      Bay’ al-Mu’âtâh
1.    Pengertian Bay’ al-Mu’âtâh
Bay’ al-Mu’âtâh adalah jual beli tanpa menyebutkan lafaz îjâb dan qabûl. Meskipun tanpa ucapan, antara pihak yang beraqad telah sepakat mengenai barang maupun harga dalam jual beli. Îjâb dan qabûl dalam jual beli seperti ini diwujudkan dalam bentuk tindakan.
Jual beli al-Mu’âtâh dilaksanakan dengan cara pembeli mengambil barang yang dikehendaki kemudian membayar sebagaimana harga yang telah diketahui. Jual beli semacam ini sudah banyak terjadi pada zaman modern ini. Hal itu dapat kita lihat pada jual beli di super market atau swalayan. Dapat dilihat bahwa biasanya pembeli mengambil barang dan membayar uang, serta tindakan penjual menerima uang dan menyerahkan barang tanpa adanya perkataan apapun.[10]
2.    Hukum Bay’ al-Mu’âtâh
Para fuqaha berselisih pendapat tentang hukum bay’ al-mu’âtâh. Perbedaan pendapat tersebut terkait dengan perwujudan îjâb dan qabûl dengan cara tindakan tanpa adanya ucapan antara kedua belah pihak. Di antara pendapat-pendapat tersebut antara lain:
1.    Menurut pandangan Imam Shafi’i dan Dawud Azahirî hukum bay’ al-mu’âtâh ini tidak sah. Transaksi jual beli harus harus harus dilakukan dengan ucapan yang jelas yaitu dengan lafaz îjâb dan qabûl yang menunjukan jual beli. Mereka beralasan bahwa unsur utama dalam jual beli adalah adanya kerelaan. Sedangkan unsur kerelaan adalah hal yang tersembunyi di dalam hati, oleh karena itu kerelaan perlu diwujudkan dengan lafaz îjâb dan qabûl.
Sebagian ulama madhab Shafi’i seperti Imam Nawawi dan al-Baqawi menyatakan bahwa bay’ al-mu’âtâh hukumnya sah. Bay’ al-mu’âtâh sah jika praktek tersebut merupakan kebiasaan suatu masyarakat di daerah tertentu. Sebagagian ulama madhab Shafi’i hanya membedakan antara jual beli dalam pasrtai besar dan partai kecil. Jika jual beli tersebut dalam partai besar, maka bay’ al-mu’âtâh itu tidak sah, tetapi jika jual beli tersebut dalam jumlah kecil, maka bay’ al-mu’âtâh tersebut sah hukumnya.[11]
2.    Menurut pendapat Jumhur Fuqaha’ Hanafi, Maliki, Hanbali, mereka berpendapat transaksi bay’ al-mu’âtâh ini boleh hukumnya. Hal ini diperblehkan jika sudah merupakan kebiasaan masyarakat. Hal tersebut telah menunjukkan adanya kerelaan antara kedua belah pihak. Menurut jumhur ulama, diantara unsur dalam jual beli adalah suka sama suka. Perihal mengambil barang dan membayar harga barang oleh pembeli telah menunjukkan îjâb dan qabûl dan telah mengandung unsur kerelaan.
II.      PELAKSANAAN JUAL BELI GABAH DI DESA TANJUNGREJOKECAMATAN KEBONSARI KABUPATEN MADIUN.
A.   Aqad Jual Beli Gabah di Desa Tanjungrejo Kecamatan Kebonsari Kabupaten Madiun
Manusia pasti memerlukan orang lain, sebab manusia bukan merupakan makhluk individu tetapi manusia adalah makhluk sosial yang harus bermasyarakat anatara satu dengan yang lainnya. Manusia saling membutuhkan untuk mendukung kelangsungan hidupnya, sehingga terjadi mu’amalah seperti adanya praktek jual beli.
Dalam praktek jual beli, ‘aqad merupakan unsur yang sangat penting untuk dicermati, karena dari aqad tersebutlah jual beli dapat dikatakan sah atau tidak. Dengan keabsahan akad maka telah menunjukkan bahwa kedua belah pihak telah rida atau rela untuk melakukan transaksi jual beli.
Jual beli gabah di  Desa Tanjungrejo merupakan aktivitas yang bertujuan untuk mencukupi kebutuhan hidup masyarakat, karena rata-rata perekonomian mereka terfokus pada sektor pertanian, terutama petani gabah. Namun demikian ada sebagian lain yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil, wiraswasta, dan lain sebagainya, namun pertanian merupakan sektor yang paling utama.  Jual beli gabah juga merupakan salah satu bentuk tolong menolong antar masyarakat di Desa Tanjungrejo. Petani yang mempunyai kelebihan gabah dia dapat menukarkan gabahnya dengan sejumlah uang yang diperlukan untuk kebutuhan lain. Demikian juga dengan pembeli yang memerlukan gabah, baik untuk dijual kembali maupun dikonsumsi sendiri dia dapat membeli kepada petani, karena rata-rata penduduk yang membeli gabah dari petani mereka tidak mempunyai lahan untuk bertani dan sekaligus berprofesi sebagai pedagang gabah.
 ‘Aqad jual beli gabah di Desa Tanjungrejo terjadi ketika petani (penjual) datang kepada pembeli dengan mengungkapkan maksudnya untuk menjual sejumlah gabah mereka. Aqad biasanya dilakukan dengan lisan atau kata-kata yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak yang bersangkutan. Tidak ada ketentuan yang mengikat antara kedua belah pihak saat melakukannya, sehingga penjual bebas menjual kepada siapa saja yang dikehendaki, dan tentunya penjual harus mengikuti cara yang telah ditetapkan oleh pembeli. Karena setiap pembeli gabah di Desa Tanjungrejo menggunakan cara yang berbeda-beda.
Contoh sighat aqad dalam Jual beli gabah di Desa Tanjungrejo seperti halnya yang dilakukan oleh salah satu penjual Misalnya: “Pak, saya jual gabah 15 karung ini kepada bapak”, kemudian pembeli menjawab “ya, saya beli gabah bapak”. Setelah dijawab oleh pembeli, maka selanjutnya pembeli menimbang gabah tersebut. Setelah diketahui total berat gabah, selanjutnya berat gabah dipotong 0,5 kg. Cara pengurangannya adalah setiap satu karung dikurangi 0,5 kg.
Aqad jual beli gabah yang lain seperti yang diungkapkan Bapak Rani misalnya: “Saya jual gabah 5 karung ini kepada anda”. Kemudian pembeli mengatakan “iya pak, saya bersedia membelinya”. Setelah ada kesepakatan maka pembeli menimbangnya dan pembeli kemudian membayar harga gabah tersebut sesuai dengan berat yang ada, tanpa ada pengurangan.
B.    Pelaksanaan Jual Beli gabah di desa Tanjungrejo kecamatan Kebonsari Kabupaten Madiun
Sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Abdul Hamid bahwa ketika dia menjual gabahnya kepada pembeli yaitu dengan cara ditimbang terlebih dahulu, setelah diketahui berapa jumlah berat gabah tersebut, maka dari jumlah timbangan tersebut akan dikurangi beberapa kilo gram, sesuai yang ditentukan oleh pembeli. Pengurangan ini adalah untuk mengurangi berat karung yang digunakan untuk membungkusnya, karena karung itu akan dikembalikan lagi kepada penjual, dalam arti lain karung tersebut tidak dibeli. Namun pada kenyataannya sering kali karung yang dikembalikan tersebut bukanlah karung milik penjual.
Praktek jual beli gabah masing-masing orang (pembeli) mempunyai sistem atau cara yang berbeda-beda. Cara tersebut tergantung keinginan dari pembeli. Cara-cara tersebut sebagai berikut:
1.      Membeli gabah sekaligus karungnya
Cara ini merupakan jual beli yang lazim dilakukan terhadap barang-barang yang terbungkus karung. Misalkan jual beli semen, pupuk, dan lain sebagainya. Dimana pembeli membeli secara keseluruhan baik gabah maupun karung, tanpa adanya pengecualian. Sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Rani ketika dia menjual gabah 5 karung dengan berat 489 kg, maka berat itu pula yang dihargai oleh pembeli tanpa ada pengurangan.
Pembeli yang menggunakan cara seperti ini adalah orang yang membeli gabah untuk dikonsumsi sendiri, dan biasanya jumlahnya pun tidak terlalu banyak. Seperti yang disampaikan Ibu Nanik dia menggunakan cara seperti ini karena dia membelinya cuma sedikit kurang lebih lima karung sampai 7 karung. Dia menggunakan cara ini agar tidak mempunyai tanggungan mengembalikan karung tersebut kepada petani, sehingga konsekwensinya dia membeli gabah tersebut dengan berat apa adanya tanpa, dikurangi sedikitpun.
2.      Membeli gabah tidak dengan karungnya
Cara kedua adalah dengan hanya membeli gabahnya saja, sedangkan karungnya dikembalikan kepada petani. Dalam menentukan berat karung yang tidak diikutkan dalam timbangan, dalam prakteknya pembeli gabah menggunakan cara yang berbeda-beda. Ada dua cara yang digunakan, yaitu:
Pertama, berat satu karung dianggap 0,5 kg. Artinya setelah gabah ditimbang secara keseluruhan, maka dari berat gabah tersebut dikurangi 0,5 kg dikalikan dengan jumlah karung. Sebagai contoh transaksi antara Bapak Mashudi dengan Bapak Hari. Bapak Mashudi menjual gabah limabelas (15) karung kepada Bapak Hari, setelah ditimbang beratnya adalah 1320 kg. Karena karungnya dikembalikan kepada Bapak Mashudi, maka berat yang dihargai bukan 1320 kg, melainkan 1312,5 kg. Cara menghitungnya sebagai berikut:
Berat total – ( 0,5 x jumlah karung)
1320 – (0,5 x 15)
= 1320 – 7,5
= 1312,5
Bapak Mashudi mengatakan bahwa jual beli gabah dengan cara ini sebenarnya terlalu banyak timbangan yang dikurangi. Karena sepengetahuan dia, karung satu buah itu beratnya tidak mencapai 0,5 kg. Secara pribadi  dia menerima saja cara ini karena bagaimana pun pembeli juga bisnis, dia akan mejual lagi gabah tersebut sehingga dia harus mencari keuntungan pula, dan jumlahnya pun tidak terlau banyak masih dalam batas kewajaran. Namun demikian saya lebih puas jika pembeli menimbang secara pasti karung yang tidak dibeli, karena selama ini hanya berdasarkan perkiraan saja.
Kedua, setiap satu kwintal dipotong 0,5 kg. Artinya pada setiap gabah yang ditimbang beratnya mencapai 1 kwintal diperkirakan berat karungnya adalah 0,5 kg. Perbedaan penentuan pengurangan berat karung antara cara pertama dan kedua adalah cara kedua ini tidak memperhatikan jumlah karung yang digunakan untuk membungkus gabah tersebut melainkan hanya dengan perkiraan bahwa dalam setiap satu kwintal gabah di dalam karung maka berat karungnya adalah 0,5 kg. Sebagai contoh adalah transaksi antara Ibu Maryam dengan Ibu Istiani. Ibu Maryam menjual gabah sebanyak 15 karung kepada Ibu Nanik. Setelah ditimbang beratnya adalah 1435 kg atau 14 kwintal 35 kg. Maka berat yang dihargai adalah 1428 kg. cara penghitungannya sebagai berikut:
Berat total – (jumlah kwintal x 0,5)
= 1435 – (14 x 0,5)
= 1435 – 7
= 1428 kg
Sebagaimana yang diunkapkan oleh Ibu Maryam, bahwa dia lebih senang melakukan jual beli gabah dengan cara seperti itu, karean pengurangannya tidak terlalu banyak yaitu baru dikurangi setengah kilo gram jika beratnya telah mencapai  satu kwintal. Kalau cara yang lain dia tidak senang karena pengurangannya terlalu banyak yaitu setiap satu karung dipotong 0,5 kg, tidak peduli karungnya masih baru atau sudah agak rusak, padahal berat masing karung tidak sama.
Sebagaimana yang dikatakan Bapak Asnandar selaku penjual, bahwa dalam hati kecil ia tidak sepakat jika berat gabah yang ditimbang tersebut selanjutnya dikurangi 0,5 kg dengan alasan untuk mengurangi berat karung yang tidak dibeli. Kalau tujuan pengurangannya adalah untuk mengurangi berat karung maka ia menginginkan agar karung tersebut ditimbang dengan benar bukan dengan perkiraan. Bahkan seringkali terjadi karung yang dikembalikan kepadanya bukan karung yang sebenarnya, terkadang karung yang dikembalikan sudah rusak. Akan tetapi dia pribadi tidak mau mengambil resiko karena hal itu sudah menjadi kebiasaan, dia tidak ingin hubungan baik yang terjalin selama ini menjadi renggang hanya gara-gara mempermasalahkan karung yang tidak begitu berharga.
Praktek jual beli gabah di desa Tanjungrejo merupakan hal yang maklum dan sering dilakukan oleh masyarakatnya, namun tidak dapat dipungkiri ada perbedaan pandangan masing-masing orang. Masyarakat yang dapat memakluminya beranggapan bahwa pengurangan tersebut sah-sah saja karena pembeli juga berbisnis dimana dia juga mencari keuntungan dari penjualan gabah tersebut, dan pengurangan tersebut juga masih dalam tingkat yang wajar. Sedangkan masyarakat yang merasa tidak puas dengan hal itu beranggapan bahwa pengurangan tersebut tidak sesuai dengan tujuan yang dimaksud yaitu untuk mengurangi berat karung. Kalau tujuannya untuk mengurangi berat karung maka sebagian masyarakat yang tidak sepakat menginginkan karung tersebut sebisa mungkin dipastikan beratnya, bukan hanya dengan perkiraan seperti yang telah menjadi kebiasaan tersebut.
III.   ANALISA HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK JUAL BELI GABAH DI DESA TANJUNGREJO KECAMATAN KEBONSARI KABUPATEN MADIUN.
A.      Analisa Hukum Islam Terhadap Aqad Jual Beli Gabah di Desa Tanjungrejo Kecamatan Kebonsari Kabupaten Madiun

Manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, dalam hidup mereka memerlukan adanya manusia lain yang bersama-sama hidup dalam masyarakat. Pergaulan hidup tempat setiap orang melakukan perbuatan dalam hubungannya dengan orang lain disebut mu’amalah.
Akad merupakan perjanjian atau kesepakatan yang memuat ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) antara satu pihak dengan pihak lain yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan prinsip shari’ah.  Pada bab sebelumnya telah dikemukakan tentang akad beserta syarat dan rukunnya. Menurut ulama Hanafiyah rukun akad adalah ijab dan qabul, sedangkan selain ulama Hanafiyah rukun akad ada tiga, yaitu:
1.    Orang yang berakad ‘aqid, contoh: penjual dan pembeli.
2.    Sesuatu yang diakadkan ma’qud ‘alaih, contoh: harga atau yang dihargakan.
3.    Sigat, yaitu ijab dan qabul.
Jual beli gabah merupakan salah satu bentuk perjanjian dalam Islam yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Aktivitas tersebut telah  menjadi kebiasaan umum  yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tanjungrejo.  Untuk mengetahui sah atau tidak mengenai akad tersebut harus diketahui terlebih dahulu mengenai syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli. Ada beberapa hal yang harus dianalisa yaitu:
a.    Ditinjau dari aqid (para pihak yang berakad)
Aqad jual beli gabah di Desa Tanjungrejo terdiri dari dua orang yaitu petani gabah atau penjual dan pembeli gabah. Pemilik gabah adalah orang yang secara sah mempunyai gabah yang dijadikan obyek jual beli tersebut, sedangkan pembeli  adalah orang yang berprofesi sebagai pedagang gabah yang membeli gabah dalam skala besar dari para petani yang selanjutnya akan dijual kembali.
Para pihak yang terlibat dalam akad jual beli gabah di desa Tanjungrejo  secara umum telah memenuhi persyaratan untuk melakukan akad. Penjual maupun pembeli adalah orang dewasa, mampu berbuat hukum, tidak dalam keadaan hilang akal (mabuk atau gila), tidak dalam keadaan dipaksa (atas kemauan sendiri) dan dilakukan atas dasar suka rela. Dalam hukum Islam syarat ‘aqid secara umum adalah harus memiliki kemampuan untuk melakukan aqad atau mampu menjadi pengganti orang lain jika ia menjadi wakil.[12]
Menurut ulama Hanafiyah orang yang berakad disyaratkan harus berakal yakni sudah mumayyis dan berbilang, sehingga tidak sah apabila aqad dilakukan seorang diri. Menurut ulama Malikiyah syarat orang yang beraqad disamping harus mumayyis, keduanya merupakan pemilik barang yang sah, suka rela dan dalam keadaan sadar. Ulama Shafi’iyah mensyaratkan orang yang beraqad harus dewasa, tidak dipaksa, Islam dan bukan musuh. Dipandang tidak sah orang kafir membeli kitab al-Qur’an atau kitab yang berkaitan dengan agama Islam. Ulama Hanabilah mensyaratkan orang yang berakad harus dewasa dan ada keridaan.
Menurut Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah mensyaratkan orang yang beqakad harus berakal dan dapat membedakan (memilih). Aqad orang gila, mabuk dan anak kecil yang belum dapat membedakan tidak sah, sedang aqad anak kecil yang sudah dapat membedakan dinyatakan sah hanya sahnya tergantung kepada walinya.[13]
Aqad jual beli gabah di Desa Tanjungrejo Kecamatan Kebonsari Kabupaten Madiun yang dilakukan oleh kedua pihak yaitu penjual  dan pembeli dilakukan oleh orang dewasa, aqad tersebut dilakukan atas dasar suka rela dan kedua pihak mampu berbuat hukum. Dengan demikian para pihak yang beraqad pada aqad jual beli gabah di desa Tanjungrejo telah memenuhi persyaratan tentang subyeknya atau ‘aqid dalam hukum Islam.
b.    Ditinjau dari obyek
Syarat-syarat barang yang menjadi obyek aqad dalam jual beli haruslah diketahui kadar, sifat, wujud dan diketahui pula masanya, serta dapat diserahterimakan, sehingga dapat terhindar dari kesamaran dan riba. Hukum Islam melarang memperjual belikan barang yang dikategorikan barang najis atau diharamkan oleh shara’, seperti darah, bangkai, dan babi. Karena benda-benda tersebut menurut shari’ah tidak dapat digunakan.
Obyek aqad dalam jual beli gabah di Desa Tanjungrejo adalah gabah itu sendiri. Sedangkan untuk pembeli yang menggunakan sistem tanpa potong karung, maka yang menjadi obyek jual beli adalah gabah sekaligus karung.
Obyek dalam jual beli gabah di Desa Tanjungrejo dalam hukum Islam dipandang sah, karena sudah memenuhi persyarat dalam jual beli. Gabah tersebut adalah milik dari petani yang sah, benda yang suci yang dapat dimanfaatkan, dapat diketahui, serta dapat diserah terimakan.
c.    Ditinjau dari sighat
Sighat merupakan suatu cara yang digunakan untuk menyatakan ijab dan qabul dalam sebuah perjanjian. Dalam menyatakannya tidak ada ketentuan khusus yang mengatur, yang paling penting adalah maksud dari aqad tersebut dapat dipahami oleh pihak-pihak yang beraqad. Sigat aqad dapat dilakukan dengan cara lisan, tulisan, atau isyarat yang memberi pengertian dengan jelas tentang adanya îjâb dan qabûl, dan dapat berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam jual beli tersebut.[14]
Dalam hukum Islam agar aqad benar-benar mempunyai akibat hukum terhadap obyek aqad, diperlukan beberapa syarat. Menurut Ahmad azhar basyir agar îjâb dan qabûl benar-benar sah menurut syara’, disini para Ulama menetapkan tiga syarat yaitu:
a.    Îjâb dan qabûl harus jelas maksudnya sehingga dapat dipahami oleh pihak yang melangsungkan aqad. Akan tetapi tidak disyaratkan menggunakan bentuk tertentu
b.     Antara îjâb dan qabûl harus sesuai
c.     Antara îjâb dan qabûl harus bersambung.
Sighat yang diucapkan dalam aqad jual beli gabah di desa Tanjungrejo dilakukan dengan cara langsung yaitu secara lisan. Seperti yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya, bahwa aqad jual beli diawali dengan ucapan penjual, misalkan “Pak saya jual gabah 15 karung ini kepadamu” dan dibarengi dengan qabûl oleh pembeli, “Ya saya beli gabah anda”. Setelah îjâb dan qabûl selesai baru kemudian pembeli menimbang gabah tersebut. Dari total jumlah timbangan 15 karung tersebut akan dikurangi terlebih dahulu, yaitu untuk mengurangi berat karung yang tidak dibeli. Contoh aqad yang lain adalah seperti halnya sighat di atas, akan tetapi pihak pembeli menghargai gabah tersebut sesuai dengan berat yang ada, tanpa dikurangi sedikitpun.
Hukum Islam memberikan ajaran bahwa dalam melakukan aqad masing-masing pihak harus memenuhi setiap aqad yang telah disepakati bersama tersebut. Hal ini sebagaimana Firman Allah Swt:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”.
(QS.Al-Maidah: 01)

Aqad jual beli gabah di Desa Tanjungrejo sebagaimana yang penulis jelaskan di atas dilihat dari aspek orang yang berakad maupun obyek jual beli telah memenuhi syarat dan rukun dalam jual beli. Sighat yang digunakan dalam jual beli gabah tersebut adalah dengan cara langsung yaitu secara lisan. Hal ini juga sudah sesuai dengan hukum Islam dimana sudah ada kesepakatan yang menunjukkan kerelaan dari kedua pihak tanpa ada paksaan.

B.    Analisa Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Jual Beli Gabah di Desa Tanjungrejo Kecamatan Kebonsari Kabupaten Madiun
Dewasa ini berbagai macam profesi dilakukan oleh seseorang guna mencukupi kebutuhan hidupnya. salah satunya adalah berbisnis sebagai pedagang gabah yang dilakukan  oleh sebagian masyarakat desa Tanjungrejo. Para pedagang biasanya membeli gabah kepada petani setempat dalam skala besar yang disimpan di dalam gudang dan selanjutnya akan dia jual kembali jika harga mengalami kenaikan.
Pelaksanaan jual beli gabah di desa Tanjungrejo ada dua macam yaitu jual beli gabah beserta karungnya dan jual beli gabah dengan tanpa karungnya. Jual beli gabah beserta karungnya mengandung arti bahwa pembeli membeli secara keseluruhan baik gabah maupun karungnya, jadi pembeli tidak susah-susah menghitung jumlah kotor dari gabah tersebut. Maksud dari jumlah kotor di sini adalah berat karung tersebut. Jual beli gabah dengan tanpa karung berarti pembeli hanya membeli gabahnya saja sedangkan karungnya akan dikembalikan kepada penjual. Jual beli dengan model ini pihak penjual akan memperkirakan berapa berat kotor dari gabah tersebut. Sesuai dengan cara yang ditentukan oleh pembeli.
Pada jual beli gabah beserta karungnya hukum Islam memandang bahwa hal tersebut sudah sesuai dengan hukum Islam, karena harga yang diberikan oleh pembeli sudah sesuai dengan harga berat gabah secara keseluruhan. Tanpa ada pengurangan sedikitpun. Dalam jual beli terhadap benda yang harus ditakar hukum Islam menetapkan bahwa jangan sampai ada penipuan dalam ukurannya, timbangan harus sesuai dan jangan sampai dikurangi.
Jual beli gabah tanpa diikutkan karungnya ini ada beberapa hal dimana tidak ada kejujuran dari pihak pembeli dalam menentukan berat kotor yang harus dikurangi sebagai pengganti karung yang tidak dibeli. Dalam menentukannya pembeli tidak menimbang secara benar seluruh jumlah karung yang telah kosong hanya menggunakan perkiraan saja. Secara umum ada dua cara yang digunakan dalam menentukan berat kotor tersebut:
1.     Berat satu karung disamakan dengan 0,5 kg
Misalkan ada sepuluh karung gabah dengan berat 900 kg,. Maka berat kotornya adalah 0,5 x 10 = 5 kg dan berat bersihnya 895 kg. Pada hal berat karung sebanyak sepuluh buah beratnya tidak mencapai 5 kg.
2.     Setiap satu kwintal gabah berarti berat karungnya 0,5 kg.
Misalkan ada 10 karung gabah dengan berat 900 kg. 900 kg sama dengan 9 kwintal, jadi berat kotornya adalah 0,5 x 9 = 4,5 kg dan berat bersihnya 895,5.
Dari contoh di atas dengan kasus yang sama tetapi dengan cara perhitungan yang berbeda, maka akan didapatkan hasil berat kotor yang berbeda pula. Hal ini dapat dimaklumi oleh seluruh masyarakat Desa Tanjungrejo karena hal itu merupakan sudah menjadi kebiasan masyarakat. Pejual menyadari bahwa pembeli adalah orang bisnis yang juga mencari keuntungan. Sehingga mereka juga mempunyai cara-cara yang berbeda dalam membeli gabah tersebut. Para petani sendiri menyadari bahwa keuntungan yang diperoleh pembeli masih dalam batas wajar.
Pada dasarnya perniagaan atau perdagangan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan atau laba. Barang siapa yang tidak beruntung perdagangannya, maka hal itu dikarenakan ia tidak melakukan usaha dengan baik dalam memilih dagangan atau dalam bermuamalah dengan orang lain. Namun jika keuntungan itu didapat dengan jalan yang dilarang maka hukumnya haram. Islam mengajarkan bahwa segala kegiatan muamalah dilakukan atas dasar tolong menolong. Ini mengandung arti bahwa dalam mencari harta untuk kebutuhan hidup jangan sampai dilakukan dengan cara-cara yang bathil seperti penipuan mengurangi timbangan yang dapat merugikan orang lain serta bermu’amalah dengan ada unsur gharar. Sebagaimana Firman Allah:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB ... ÇËÒÈ