ASURANSI SYARI’AH
Makalah ini diajukan untuk memenuhi
tugas mata kuliah
“FATWA-FATWA UNDANG-UNDANG LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH”
Disusun oleh:
MUHAMMAD UMAR SAIFUDDIN
LIA
HIDAYATI
Dosen Pengampu:
AMIN WAHYUDI
PROGAM STUDI
MU’AMALAH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PONOROGO
2012
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan
kehadirat Allah SWT tuhan semesta alam. Tak lupa shalawat dan salam kita
haturkan ke baginda Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga,
sahabat serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Pada kesempatan kali ini kami
memilih tema “Asuransi Syariah” untuk makalah ini. Seperti yang
kita ketahui bahwa saat ini Ilmu Ekonomi Islam sedang mengalami perkembangan
yang pesat. Diawali dengan Perbankan Syariah, Asuransi Syariah, Reksadana
Syariah, dll. Sehingga penulis ingin mendalami tentang asuransi syariah, oleh
karena itu pada kesempatan ini kami akan membahas tentang.
kami menyadari bahwa penulisan
makalah ini belum sempurna, dan masih banyak kesalahan. Oleh karena itu penulis
dengan senang hati menerima masukan berupa kritik atau saran yang membangun dari
pembaca sekalian. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak AMIN
WAHYUDI selaku dosen mata kuliah fatwa-fatwa UU lembaga keuangan syariah dan
teman-temang yang selalu mendukung dalam proses penyusunan makalah ini.
kami berharap semoga hasil makalah
ini berguna dan bermanfaat bagi semua pembaca, agar pembaca sekalian dapat
mengambil pengetahuan dari makalah yang telah kami buat.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa pengertian asurasi syariah?
2.
Bagaimana akat akat dalam asuransi
syariah?
3.
Syarat apa saja yang harus di penuhi
dalam mendirikan asuransi syariah?
PEMBAHASAN
I. PENGERTIAN ASURANSI SYARIAH
Menurut Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah bagian pertama menyebutkan pengertian Asuransi Syariah adalah
usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak
melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru yang memberikan pola
pengembalian untuk mengehadapi resiko tertentu melalui akad atau perikatan yang
sesuai dengan syariah.
Asuransi syariah bersifat saling
melindungi dan tolong menolong yang dikenal dengan istilah ta’awun,
yaitu prinsip yang saling melindungi dan saling tolong menolong atas dasar
ukhuwah Islamiyah antara sesama anggota asuransi syariah dalam menghadapi hal
tak tentu yang merugikan.
Definisi Asuransi menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian
Bab 1, Pasal 1: “Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak
atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung
dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung
karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita
tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”. Selain pengertian tersebut banyak
definisi mengenai asuransi, yaitu:
o
Konsep Sederhana
Suatu
persediaan yang disiapkan oleh sekelompok orang yang bias tertimpa kerugian
guna menghadapi kejadian yang tidak dapat diramalkan sehingga bila kerugian
tersebut menimpa salah seorang di antara mereka maka beban kerugian akan
disebarkan ke seluruh kelompok.
o
Pengertian Ekonomi
Suatu
aransemen ekonomi yang menghilangkan atau mengurangi akibat yang merugikan di
masa dating karena berbagai kemungkinan sejauh menyangkut kekayaan (vermoegen)
seorang individu.
Berdasarkan definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi
kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi
seluruh peserta asuransi.
II.
DASAR HUKUM
Dari segi hukum positif, hingga saat
ini asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada Undang-undang No. 2
tahun 1992 tentang perasuransian. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal
246, yaitu: ”Asuransi adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung
mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk
memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa
yang tak tentu.”
Pengertian diatas tidak dapat
dijadikan landasan hukum yang kuat bagi Asuransi Syariah karena tidak mengatur
keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah, serta tidak mengatur teknis
pelaksanaan kegiatan asuransi dalam kaitannya kegiatan administrasinya. Pedoman
untuk menjalankan usaha asuransi syariah terdapat dalam Fatwa Dewan Asuransi
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang
Pedoman Umum Asuransi Syariah, fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang
ada, tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan kegiatan Asuransi Syariah.
Tetapi fatwa DSN-MUI tersebut tidak
memiliki kekuatan hukum dalam Hukum Nasional karena tidak termasuk dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Agar ketentuan Asuransi Syariah
memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan yang termasuk peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia meskipun dirasa belum memberi kepastian
hukum yang lebih kuat, peraturan tersebut yaitu Keputusan Menteri Keuangan RI
No.426/KMK.06/2003, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 424/KMK.06/2003 dan
Keputusan Direktorat Jendral Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000. Semua keputusan
tersebut menyebutkan mengenai peraturan sistem asuransi berbasis Syariah.
III. MUDHARABAH
MUSYTARAKAH PADA ASURANSI SYARIAH
A. Alasan
Penetapan
Bahwa fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi
Syariah khususnya mengenai akad Tijarah (Mudharabah) belum memuat akad Mudharabah
Musytarakah.
Bahwa akad Mudharabah Musytarakah untuk asuransi syariah sangat
diperlukan oleh industri asuransi syariah.
Bahwa fatwa Mudharabah Musytarakah untuk asuransi syariah perlu
dibuat secara khusus sebagai implementasi dari fatwa DSN No.50/DSN-MUI/III/2006
tentang Mudharabah Musytarakah.
Bahwa oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional memandang perlu
menetapkan fatwa tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah untuk
dijadikan pedoman.
B.
Ketentuan Hukum
ü
Mudharabah Musytarakah boleh dilakukan oleh
perusahaan asuransi, karena merupakan bagian dari hukum Mudharabah.
ü
Mudharabah Musytarakah dapat diterapkan pada
produk asuransi syariah yang mengandung unsur tabungan (saving) maupun non
tabungan.
IV.
TABARRU' PADA ASURANSI SYARI'AH.
A.
Alasan Menetapkan Fatwa
Bahwa
fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah dinilai
sifatnya masih sangat umum sehingga perlu dilengkapi dengan fatwa yang lebih
rinci.
Bahwa salah
satu fatwa yang diperlukan adalah fatwa tentang Akad Tabarru’ untuk asuransi.
Bahwa oleh
karena itu, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang
Akad Tabarru’ untuk dijadikan pedoman.
B.
Ketentuan Hukum
Akad Tabarru’ merupakan akad yang harus melekat
pada semua produk asuransi.
Akad
Tabarru’ pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan antar peserta
pemegang polis.
V. WAKALAH
BIL UJRAH PADA ASURANSI SYARIAH
A.
Alasan Penetapan Fatwa
Bahwa
fatwa DSN No.10/DSN-MUI/2000 tentang Wakalah dan fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001
tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah dinilai sifatnya masih sangat umum
sehingga perlu dilengkapi dengan fatwa yang lebih rinci.
Bahwa salah
satu fatwa yang diperlukan adalah fatwa tentang Wakalah bil Ujrah untuk
asuransi, yaitu salah satu bentuk akad Wakalah di mana peserta memberikan kuasa
kepada perusahaan asuransi dengan imbalan pemberian ujrah (fee).
Bahwa oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional
memandang perlu menetapkan fatwa tentang Wakalah bil Ujrah untuk dijadikan
pedoman.
VI. KESEHATAN
KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH
A. Pertimbangan Di Sahkanya Kmk Republik
Indonesia Nomor 424/Kmk.06/2003
Bahwa
dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam industri
perasuransian nasional, perlu dilakukan penyesuaian secara menyeluruh terhadap
ketentuan menganai Perizinan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
223/KMK.017/1993
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, perlu
menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
VII.
IZIN USAHA PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH
A.
Persyaratan Dan Tata Cara Menperoleh Izin Usaha Perusahaan Asuransi
Dan Perusahaan Reasuransi Dengan Prinsip Syariah
Setiap
pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan Prinsip
Syariah dengan cara:
1.
Pendirian baru Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah.
2.
Konversi dari Perusahaan Asuransi dengan
prinsip konvensional menjadi Perusahaan Asuransi dengan Prinsip Syariah atau
konversi dari Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional menjadi
Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah.
3.
Pendirian kantor cabang baru dengan Prinsip
Syariah dari Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional atau Perusahaan
Asuransi dengan prinsip konvensional.
4. Konversi
dari kantor cabang Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional menjadi
kantor cabang dengan Prinsip Syariah dari Perusahaan Asuransi dengan prinsip
konvensional, atau konversi dari kantor cabang Perusahaan Reasuransi dengan
prinsip konvensional menjadi kantor cabang dengan Prinsip Syariah dari
Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional.
Konversi
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud di atas, harus
memenuhi persyaratan ketentuan sebagai
berikut:
1.
Tidak merugikan tertanggung atau pemegang
polis.
2.
Memberitahukan konversi tersebut kepada
pemegang polis.
3. Memindahkan
portofolio pertanggungan ke perusahaan asuransi konvensional lain atau
membayarkan nilai tunai pertanggungan, bagi tertanggung atau pemegang polis
yang tidak bersedia menjadi tertanggung atau pemegang polis dari perusahaan
asuransi dengan Prinsip Syariah.
Selain
harus memenuhi ketentuan di atas, pendirian konversi Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah harus pula menyampaikan:
1.
Bukti pendukung bahwa tenaga ahli yang
dipekerjakan memiliki keahlian dibidang asuransi dan atau ekonomi syariah.
2.
Bukti pengesahan Dewan Syariah Nasional tentang
penunjukan Dewan Pengawas Syariah Perusahaan.
3.
Bukti pengesahan Dewas Pengawas Syariah
Perusahaan atas produk asuransi yang akan dipasarkan yang sekurang-kurangnya
meliputi:
a.
Dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi,
dan asset share atau profit testing bagi Perusahaan Asuransi Jiwa.
b.
Dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi,
dan proyeksi underwrting bagi Perusahaan Asuransi Kerugian.
c.
Cara pemasaran.
d.
Rencana dukungan reasuransi otomatis bagi
Perusahaan Asuransi dan rencana dukungan retrosesi bagi Perusahaan Reasuransi.
e. Contoh polis,
surat permohonan penutupan asuransi (SPPA) dan brosur.
4.
Pedoman pelaksanaan manajemen keuangan sesuai
syariah yang sekurang-kurangya mengatur mengenai penempatan investasi baik
batas jenis maupun jumlah.
5.
Pedoman penyelenggaraan usaha sesuai syariah
yang sekurang-kurangnya mengatur mengenai penyebaran risiko.
PENUTUP
RINGKASAN
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/
KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat dijadikan dasar untuk
mendirikan asuransi syariah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 yang
menyebutkan bahwa ”Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha
reasuransi berdasarkan prinsip syariah…” Ketentuan yang berkaitan dengan
asuransi syariah tercantum dalam Pasal 3-4 mengenai persyaratan dan tata cara
memperoleh izin usaha perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip
syariah, Pasal 32 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi konvensional, dan Pasal 33
mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan
asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 424/
KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam
Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai
oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar