Kamis, 07 Juni 2012

ASURANSI SYARI’AH


ASURANSI SYARI’AH
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“FATWA-FATWA UNDANG-UNDANG LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH”




Disusun oleh:
MUHAMMAD UMAR SAIFUDDIN
LIA HIDAYATI

Dosen Pengampu:
AMIN WAHYUDI


PROGAM STUDI MU’AMALAH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PONOROGO
2012

PENDAHULUAN
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT tuhan semesta alam. Tak lupa shalawat dan salam kita haturkan ke baginda Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Pada kesempatan kali ini kami memilih tema “Asuransi Syariah” untuk makalah ini. Seperti yang kita ketahui bahwa saat ini Ilmu Ekonomi Islam sedang mengalami perkembangan yang pesat. Diawali dengan Perbankan Syariah, Asuransi Syariah, Reksadana Syariah, dll. Sehingga penulis ingin mendalami tentang asuransi syariah, oleh karena itu pada kesempatan ini kami akan membahas tentang.
kami menyadari bahwa penulisan makalah ini belum sempurna, dan masih banyak kesalahan. Oleh karena itu penulis dengan senang hati menerima masukan berupa kritik atau saran yang membangun dari pembaca sekalian. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak AMIN WAHYUDI selaku dosen mata kuliah fatwa-fatwa UU lembaga keuangan syariah dan teman-temang yang selalu mendukung dalam proses penyusunan makalah ini.
kami berharap semoga hasil makalah ini berguna dan bermanfaat bagi semua pembaca, agar pembaca sekalian dapat mengambil pengetahuan dari makalah yang telah kami buat.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian asurasi syariah?
2.      Bagaimana akat akat dalam asuransi syariah?
3.      Syarat apa saja yang harus di penuhi dalam mendirikan asuransi syariah?



PEMBAHASAN

     I.     PENGERTIAN ASURANSI SYARIAH
Menurut Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah bagian pertama menyebutkan pengertian Asuransi Syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk mengehadapi resiko tertentu melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan syariah.
Asuransi syariah bersifat saling melindungi dan tolong menolong yang dikenal dengan istilah ta’awun, yaitu prinsip yang saling melindungi dan saling tolong menolong atas dasar ukhuwah Islamiyah antara sesama anggota asuransi syariah dalam menghadapi hal tak tentu yang merugikan.
Definisi Asuransi menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian Bab 1, Pasal 1: “Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima  premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu  peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran  yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”. Selain pengertian tersebut banyak definisi mengenai asuransi, yaitu:
o   Konsep Sederhana
Suatu persediaan yang disiapkan oleh sekelompok orang yang bias tertimpa kerugian guna menghadapi kejadian yang tidak dapat diramalkan sehingga bila kerugian tersebut menimpa salah seorang di antara mereka maka beban kerugian akan disebarkan ke seluruh kelompok.
o   Pengertian Ekonomi
Suatu aransemen ekonomi yang menghilangkan atau mengurangi akibat yang merugikan di masa dating karena berbagai kemungkinan sejauh menyangkut kekayaan (vermoegen) seorang individu.
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta  asuransi.
  II.     DASAR HUKUM
Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang perasuransian. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 246, yaitu: ”Asuransi adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu.”
Pengertian diatas tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi Asuransi Syariah karena tidak mengatur keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah, serta tidak mengatur teknis pelaksanaan kegiatan asuransi dalam kaitannya kegiatan administrasinya. Pedoman untuk menjalankan usaha asuransi syariah terdapat dalam Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang ada, tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan kegiatan Asuransi Syariah.
Tetapi fatwa DSN-MUI tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dalam Hukum Nasional karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Agar ketentuan Asuransi Syariah memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan yang termasuk peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia meskipun dirasa belum memberi kepastian hukum yang lebih kuat, peraturan tersebut yaitu Keputusan Menteri Keuangan RI No.426/KMK.06/2003, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 424/KMK.06/2003 dan Keputusan Direktorat Jendral Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000. Semua keputusan tersebut menyebutkan mengenai peraturan sistem asuransi berbasis Syariah.
III.     MUDHARABAH MUSYTARAKAH PADA ASURANSI SYARIAH
A.    Alasan Penetapan
*   Bahwa fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah khususnya mengenai akad Tijarah (Mudharabah) belum memuat akad Mudharabah Musytarakah.
*   Bahwa akad Mudharabah Musytarakah untuk asuransi syariah sangat diperlukan oleh industri asuransi syariah.
*   Bahwa fatwa Mudharabah Musytarakah untuk asuransi syariah perlu dibuat secara khusus sebagai implementasi dari fatwa DSN No.50/DSN-MUI/III/2006 tentang Mudharabah Musytarakah.
*   Bahwa oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah untuk dijadikan pedoman.
B.     Ketentuan Hukum
ü   Mudharabah Musytarakah boleh dilakukan oleh perusahaan asuransi, karena merupakan bagian dari hukum Mudharabah.
ü  Mudharabah Musytarakah dapat diterapkan pada produk asuransi syariah yang mengandung unsur tabungan (saving) maupun non tabungan.
IV.     TABARRU' PADA ASURANSI SYARI'AH.
A.    Alasan Menetapkan Fatwa
*   Bahwa fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah dinilai sifatnya masih sangat umum sehingga perlu dilengkapi dengan fatwa yang lebih rinci.
*   Bahwa salah satu fatwa yang diperlukan adalah fatwa tentang Akad Tabarru’ untuk asuransi.
*   Bahwa oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang Akad Tabarru’ untuk dijadikan pedoman.
B.     Ketentuan Hukum
*    Akad Tabarru’ merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi.
*   Akad Tabarru’ pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan antar peserta pemegang polis.
  V.     WAKALAH BIL UJRAH PADA ASURANSI SYARIAH
A.    Alasan Penetapan Fatwa
*   Bahwa fatwa DSN No.10/DSN-MUI/2000 tentang Wakalah dan fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah dinilai sifatnya masih sangat umum sehingga perlu dilengkapi dengan fatwa yang lebih rinci.
*   Bahwa salah satu fatwa yang diperlukan adalah fatwa tentang Wakalah bil Ujrah untuk asuransi, yaitu salah satu bentuk akad Wakalah di mana peserta memberikan kuasa kepada perusahaan asuransi dengan imbalan pemberian ujrah (fee).
*    Bahwa oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang Wakalah bil Ujrah untuk dijadikan pedoman.
VI.     KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH
A.    Pertimbangan Di Sahkanya Kmk Republik Indonesia Nomor 424/Kmk.06/2003
*   Bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam industri perasuransian nasional, perlu dilakukan penyesuaian secara menyeluruh terhadap ketentuan menganai Perizinan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 223/KMK.017/1993
*    Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
VII.     IZIN USAHA PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH
A.  Persyaratan Dan Tata Cara Menperoleh Izin Usaha Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi Dengan Prinsip Syariah
*   Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan Prinsip Syariah dengan cara:
1.    Pendirian baru Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah.
2.    Konversi dari Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional menjadi Perusahaan Asuransi dengan Prinsip Syariah atau konversi dari Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional menjadi Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah.
3.    Pendirian kantor cabang baru dengan Prinsip Syariah dari Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional atau Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional.
4.    Konversi dari kantor cabang Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional menjadi kantor cabang dengan Prinsip Syariah dari Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional, atau konversi dari kantor cabang Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional menjadi kantor cabang dengan Prinsip Syariah dari Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional.
*   Konversi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud di atas, harus memenuhi persyaratan  ketentuan sebagai berikut:
1.    Tidak merugikan tertanggung atau pemegang polis.
2.    Memberitahukan konversi tersebut kepada pemegang polis.
3.    Memindahkan portofolio pertanggungan ke perusahaan asuransi konvensional lain atau membayarkan nilai tunai pertanggungan, bagi tertanggung atau pemegang polis yang tidak bersedia menjadi tertanggung atau pemegang polis dari perusahaan asuransi dengan Prinsip Syariah.
*   Selain harus memenuhi ketentuan di atas, pendirian konversi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah harus pula menyampaikan:
1.      Bukti pendukung bahwa tenaga ahli yang dipekerjakan memiliki keahlian dibidang asuransi dan atau ekonomi syariah.
2.      Bukti pengesahan Dewan Syariah Nasional tentang penunjukan Dewan Pengawas Syariah Perusahaan.
3.      Bukti pengesahan Dewas Pengawas Syariah Perusahaan atas produk asuransi yang akan dipasarkan yang sekurang-kurangnya meliputi:
a.    Dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi, dan asset share atau profit testing bagi Perusahaan Asuransi Jiwa.
b.    Dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi, dan proyeksi underwrting bagi Perusahaan Asuransi Kerugian.
c.    Cara pemasaran.
d.   Rencana dukungan reasuransi otomatis bagi Perusahaan Asuransi dan rencana dukungan retrosesi bagi Perusahaan Reasuransi.
e.    Contoh polis, surat permohonan penutupan asuransi (SPPA) dan brosur.
4.      Pedoman pelaksanaan manajemen keuangan sesuai syariah yang sekurang-kurangya mengatur mengenai penempatan investasi baik batas jenis maupun jumlah.
5.      Pedoman penyelenggaraan usaha sesuai syariah yang sekurang-kurangnya mengatur mengenai penyebaran risiko.

PENUTUP
RINGKASAN
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/ KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusa­haan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa ”Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah…” Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 3-4 mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, Pasal 32 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi konvensional, dan Pasal 33 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 424/ KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar