PERKEMBANGAN
HUKUM ZAKAT
DI INDONESIA
Makalah ini diajukan untuk memenuhi
tugas mata kuliah
“Pengelolaan Zakat”
Disusun oleh:
MUHAMMAD UMAR SAIFUDDIN
Dosen Pengampu:
AJI DAMANURI, M.E.I
PROGAM STUDI
MU’AMALAH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PONOROGO
2012
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT tuhan semesta alam.
Tak lupa shalawat dan salam kita haturkan ke baginda Nabi besar kita, Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat serta para pengikutnya hingga akhir
zaman.
Pada kesempatan ini kami akan memaparkan di hadapan kawan-kawan semua
sebuah makalah yang berjudul “PERKEMBANGAN HUKUM ZAKAT DI INDONESIA”,
kita tahu bahwa masyarakat di Negara kita mayoritas MUSLIM, sehingga
sepantasnya bagi kita untuk memperdalam tentang perkembangan zakat dan hukum
yang menaunginya di negri ini. Sehingga bisa membantu mengentaskan kemiskinan
di negri kita yang tercinta ini, aamiin.
kami menyadari bahwa penulisan
makalah ini belum sempurna, dan masih banyak kesalahan. Oleh karena itu penulis
dengan senang hati menerima masukan berupa kritik atau saran yang membangun dari
kawan-kawan sekalian. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak AJI
DAMANURI, M.E.I selaku dosen mata kuliah pengelolaan zakatdan kawan-kawan yang
selalu mendukung dalam proses penyusunan makalah ini.
kami berharap semoga hasil makalah
ini berguna dan bermanfaat bagi kawan-kawan semua khususnya. Dan semua pembaca
pada umumnya, agar pembaca sekalian dapat mengambil pengetahuan dari makalah
yang telah kami buat. Aamiin.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
uu memberi pengertian terhadap zakat.
2.
Apakah
dasar hukum zakat dalam nas dan hukum positif di indonesia.
3.
Bagaimana
sejarah perkembangan hukum zakat di indonesia.
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
Zakat adalah memberikan harta yang telah mencapai nisab dan haul kepada
orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu. Nisab adalah
ukuran tertentu dari harta yang dimiliki yang mewajibkan dikeluarkannya zakat,
sedangkan haul adalah berjalan genap satu tahun. Zakat juga berarti kebersihan,
setiap pemeluk Islam yang mempunyai harta cukup banyaknya menurut ketentuan
(nisab) zakat, wajiblah membersihkan hartanya itu dengan mengeluarkan zakatnya.
Dari sudut bahasa, kata zakat berasal dari kata “zaka” yang berarti berkah,
tumbuh, bersih, dan baik. Segala sesuatu yang bertambah disebut zakat. Menurut
istilah fikih zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk
diserahkan kepada yang berhak. Orang yang wajib zakat disebut “muzakki”,sedangkan
orang yang berhak menerima zakat disebut ”mustahiq” .Zakat
merupakan pengikat solidaritas dalam masyarakat dan mendidik jiwa untuk
mengalahkan kelemahan dan mempraktikan pengorbanan diri serta kemurahan hati.
Menurut undang-undang No. 38 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat. Zakat adalah harta yang wajib disisihkan
oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan
ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Sedangkan Pengelolaan zakat adalah kegiatan
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan
dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat.
B.
DASAR HUKUM
1. Al-Quran
a. Al-Baqarah:
110
Artinya:
“Dan
Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu
usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan”.
b. At-Taubah:
60
Artinya:
“Dan siapkanlah
untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda
yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan
musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak
mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada
jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan
dianiaya (dirugikan)”.
c. At-Taubah:
103
Artinya:
“Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan
mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui”.
2. Hadist Nabi
Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW ketika mengutus Mu’az ke Yaman, ia
bersabda: “Sesungguhnya engkau akan datang ke satu kaum dari Ahli Kitab,
oleh karena itu ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah, dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Kemudian jika mereka taat
kepadamu untuk ajakan itu, maka beritahukannlah kepada mereka, bahwa Allah
telah mewajibkan kepada mereka atas mereka salat lima kali sehari semalam; lalu
jika mereka mentaatimu untuk ajakan itu, maka beritahukanlah kepada mereka,
bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang-orang
kaya mereka; kemudian jika mereka taat kepadamu untuk ajakan itu, maka
berhati-hatilah kamu terhadap kehormatan harta-harta mereka, dan takutlah
terhadap doa orang yang teraniaya, karena sesungguhnya antara doa itu dan Allah
tidak hijab (pembatas)”.
3. Hukum
Nasional
a. UU No. 38
Tahun 1999.Tentang Prngelolaan Zakat.
b. UU 23 TAHUN
2011 Tentang Pengelolaan Zakat.
c. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 373 Tahun 2003.
d. Keputusan Presiden No
8 Tahun 2001.
C.
SEJARAH PERKEMBANGAN PERATURAN TENTANG ZAKAT DI INDONESIA
Zakat merupakan satu-satunya ibadah
dalam syariat islam yang secara eksplisit dinyatakan ada petugasnya (QS.
Al-Maidah: 60 dan 103). Zakat bukanlah semata-mata urusan yang bersifat
karitatif (kedermawanan), tetapi juga otoritatif (perlu ada kekuatan memaksa)
(Hafidhuddin 2006, 165). Hal ini karena zakat memiliki posisi dan kedudukan
yang sangat strategis dalam membangun kesejahteraan, mengentaskan kemiskinan
dan meningkatkan ekonomi masyarakat, jika pengumpulan dan penyalurannya
dikelola secara amanah, transparan dan profesional.
Namun, dalam praktiknya, pengelolaan
zakat di Indonesia belum mampu mewujudkan peran strategis tersebut. Kondisi
seperti ini terutama terjadi sebelum tahun 1990-an, ketika belum ada kemauan
politik dari pemerintah untuk mengatur pengelolaan zakat secara lebih optimal.
Regulasi zakat pertama di Indonesia adalah Surat Edaran Kementerian Agama
No.A/VII/17367 tahun 1951 yang melanjutkan ketentuan ordonansi Belanda bahwa
negara tidak mencampuri urusan pemungutan dan pembagian zakat, tetapi hanya
melakukan pengawasan.
Upaya untuk memperkuat zakat dalam
tatanan negara selanjutnya pada tahun 1964 Kementerian Agama menyusun RUU
pelaksanaan zakat dan RPerpu pengumpulan dan pembagian zakat dan pembentukan
baitul mal. Namun, baik RUU dan RPerpu ini belum sempat diajukan ke DPR dan
Presiden. Kemudian tahun 1967, Menteri Agama mengirimkan RUU zakat ke DPR-GR
dengan Surat Nomor MA/095/1967, yang mana dalam surat tersebut ditekankan bahwa
pembayaran zakat adalah sebuah keniscayaan dalam masyarakat muslim, sehingga
minimal negara mempunyai kewajiban moril untuk mengaturnya. Selain kepada
DPR-GR Menteri Agama juga mengirim surat kepada Menteri Keuangan dan Menteri
Sosial untuk mendapatkan usul dan tanggapan, terkait Depkeu yang berpengalaman
dalam pengumpulan dana masyarakat dan Depsos yang berpengalaman dalam
distribusi dana sosial ke masyarakat. Tanggapan yang diberikan Depkeu
menyarankan zakat diatur dalam Peraturan Menteri Agama (Andi Lolo 1991, 270).
Berdasarkan saran tersebut, Menteri
Agama menerbitkan Peraturan Menteri Agama No. 4 tahun 1968 tentang Pembentukan
Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama No.5 tahun 1968 tentang
Pembentukan Baitul Mal yang berfungsi sebagai pengumpul zakat untuk kemudian
disetor kepada BAZ. Namun, atas seruan dan dorongan Presiden berturut-turut
pada peringatan Isra’ Mi’raj dan Idul Fitri 1968 keluarlah Instruksi Menteri
Agama No.1 tahun 1969 tentang Penundaan PMA No.4 dan 5 tahun 1968 (Andi Lolo
1991, 270).
Praktis setelah itu, pengaturan dan
pengelolaan zakat di Indonesia tidak mengalami perkembangan yang signifikan,
kecuali beberapa instruksi dan himbauan tentang infaq dan sedekah. Hal ini
menjadikan zakat relatif tidak memberikan kontribusi positif dan konstruktif
dalam menghadapi realitas problem sosial ekonomi masyarakat dan negara. Sebelum
tahun 1990, dunia perzakatan di Indonesia memiliki beberapa karakteristik,
antara lain zakat umumnya diberikan langsung oleh muzakki kepada mustahik, jika
pun melalui petugas zakat hanya terbatas pada zakat fitrah yang bertugas
temporer, kemudian zakat yang diberikan pada umumnya hanya bersifat konsumtif
dan harta objek zakat terbatas pada harta yang secara eksplisit dikemukan dalam
Al-Qur’an dan Hadist (Hafidhuddin 2006, 209).
Melalui perjuangan para ulama,
cendekiawan dan profesional, pada tahun 1990-an mulai terlihat perubahan sikap
politik pemerintah terhadap zakat. Di satu sisi, usaha untuk merintis pendirian
lembaga zakat formal terus berlangsung, sehingga akhirnya berdiri lembaga zakat
formal pertama, yaitu BAZIZ DKI pada tahun 1969. Kemudian pada tahun 1991,
pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 29 dan 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan
Badan Amil Zakat, Infaq dan shadaqah. Dan diikuti dengan Instruksi Menteri
Agama Nomor 5 Tahun 1991 tentang Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infaq dan
Shadaqah dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1998 tentang
Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah.
Seiring dengan keluarnya berbagai
instruksi dan keputusan menteri dan perkembangan BAZIS DKI tersebut, maka
mendorong pertumbuhan BAZIS maupun lembaga amil zakat yang dikelola masyarakat
di daerah-daerah lain. Beberapa yang menonjol antara lain YDSF yang berdiri
tahun 1989 dan Dompet Dhuafa Republika yang berdiri tahun 1993. Dompet Dhuafa
kemudian membidani lahirnya Forum Zakat (FoZ) sebagai asosiasi organisasi
pengelola zakat, dengan konsorsium bersama 11 lembaga zakat pada tanggal 7 Juli
1997. Melalui FoZ ini aspirasi dalam perjuangan penyadaran zakat dilakukan
secara lebih terorganisir.
Puncaknya adalah ketika pada tahun
1999, pemerintah bersama DPR menyetujui lahirnya Undang-Undang Nomor 38 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat. UU Pengelolaan Zakat ini kemudian
ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 581 tahun 1999
tentang Pelaksanaan UU No.38 tahun 1999 dan Keputusan Dirjen Bimas Islam dan
Urusan Haji Nomor D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
Sebelumnya pada tahun 1997 juga keluar Keputusan Menteri Sosial Nomor 19 Tahun
1998, yang memberi wewenang kepada masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan
kesejahteraan sosial bagi fakir miskin untuk melakukan pengumpulan dana maupun
menerima dan menyalurkan ZIS.
Dengan disahkannya UU Pengelolaan
Zakat tersebut Indonesia telah memasuki tahap institusionalisasi pengelolaan
zakat dalam wilayah formal kenegaraan, meskipun masih sangat terbatas.
Lembaga-lembaga pengelola zakat mulai berkembang, termasuk pendirian lembaga
zakat yang dikelola oleh pemerintah, yaitu BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional)
dan lembaga zakat yang dikelola masyarakat dengan manajemen yang lebih baik dan
modern.
Substansi utama UU Pengelolaan zakat
adalah pengaturan harta obyek zakat dan pendayagunaan, serta pengaturan
organisasi pengelola zakat. Dalam UU tersebut organisasi pengelola zakat
dibedakan menjadi dua, yaitu Badan Amil Zakat yang dikelola oleh pemerintah dan
Lembaga Amil Zakat yang dikelola oleh masyarakat. Kedua organisasi pengelola
zakat tersebut pada dasarnya merupakan pengganti peran otoritatif pemerintah
dalam pengelolaan zakat. Meskipun demikian, kedua organisasi ini memiliki
kelemahan mendasar karena sebagai otoritas pengelola zakat, UU tidak memberikan
kekuatan memaksa organisasi pengelola zakat kepada para muzakki. Oleh karena
itu, hingga kini sangat banyak tuntutan untuk merevisi UU zakat tersebut.
Namun, setidaknya dengan UU Zakat
tersebut telah mendorong upaya pembentukan lembaga pengelola zakat yang amanah,
kuat dan dipercaya masyarakat. Tentu saja hal ini meningkatkan pengelolaan
zakat sehingga peran zakat menjadi lebih optimal. Lembaga-lembaga zakat telah
mampu mengelola dana hingga puluhan milyar rupiah, dengan cakupan penyalurannya
mencapai seluruh wilayah Indonesia.
D. KELEMBAGAAN
ZIS DI INDONESIA
Kelembagaan
zakat di Indonesia diatur dalam Bab III UU Nomor 38 Tahun 1999, meliputi badan
amil zakat dan lembaga amil zakat. Badan amil zakat (BAZ) merupakan organisasi
pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah, dari level pemerintah pusat
sampai kecamatan. Badan amil zakat pada semua tingkatan tersebut mempunyai
hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif dan informatif. Pengurus
BAZ yang meliputi unsur pertimbangan, pengawas dan pelaksana dapat berasal dari
unsur pemerintah maupun masyarakat. Sedangkan lembaga amil zakat (LAZ)
merupakan organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat, yang
dikukuhkan, dibina dan dilindungi pemerintah. Baik BAZ maupun LAZ bertugas
untuk mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai ketentuan
agama. Selain zakat, BAZ dan LAZ dapat mengelola dana infaq, sedekah, wasiat,
waris dan kafarat. Dalam menjalankan tugasnya, BAZ dan LAZ bertanggungjawab
pada pemerintah sesuai tingkatannya. Khusus BAZNAS atau Bazda berkewajiban
menyampaikan laporan keuangan tahunan pada DPR atau DPRD.
Pengaturan teknis kelembagaan,
susunan organisasi dan tata kerja organisasi pengelola zakat diatur dalam
Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU No.38
tahun 1999 dan Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tahun
2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Berdasarkan Keputusan Menteri
Agama (KMA) Nomor 581 tahun 1999, persyaratan teknis yang harus dipenuhi oleh
lembaga zakat, yaitu berbadan hukum, memiliki data muzakki dan mustahik,
memiliki program kerja yang jelas, memiliki pembukuan yang baik, dan
melampirkan surat pernyataan bersedia diaudit.
Meskipun demikian, pengaturan
kelembagaan zakat ini lebih bersifat kelembagaan internal berupa bentuk dan
administrasi lembaga, manajemen dan sanksi bagi lembaga zakat yang lalai. UU
Zakat lebih bersifat mengatur organisasi pengelola zakat, bukan pengaturan
zakat secara umum dan menyeluruh. Sehingga kelembagaan zakat dalam lingkup
kebijakan ekonomi publik belum terbentuk. Mekanisme sistem zakat masih
sepenuhnya di bawah Departemen Agama. Padahal, mempertimbangkan fungsi sosial
ekonominya zakat hendaknya juga berada di bawah otoritas ekonomi, atau minimal
di bawah otoritas kesejahteraan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar