TES DNA UNTUK MENENTUKAN NASAB
DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
Makalah Ini Bertujuan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Pada Mata Kuliah “Kapeta Selekta Hukum Mu’amalah”
Disusun oleh:
M Umar Saifudin (210209058)
Dosen Pengampu :
Unun
Roudlotul Jannah, M. Ag
JURUSAN SYARIAH MU’AMALAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
( STAIN ) PONOROGO
Maret 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Syukur
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT tuhan semesta alam. Tak lupa
shalawat dan salam kita haturkan ke baginda Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga, sahabat serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Pada
kesempatan kali ini kami memilih tema “Tes Dna Untuk Menentukan Nasab
Dalam Pandangan Hukum Islam ” untuk
makalah ini. Seperti yang kita ketahui
bahwa saat ini Ipteg sangat maju, sehingga banyak sesuatu yang
belum ada dasar hukumnya secara nas, untuk kita lakukan. Yang tidak sedikit
menimbulkan permasalahan dalam hukum islam, maka kami akan berusaha untuk
mengungkap permasalahan ini sehingga menjadi ajuan yang baik.
kami
menyadari bahwa penulisan makalah ini belum sempurna, dan masih banyak
kesalahan. Oleh karena itu kami dengan senang hati menerima masukan berupa
kritik atau saran yang membangun dari kawan-kawan sekalian. Tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih kepada Ibu Unun
Roudlotul Jannah, M. Ag, selaku dosen mata kuliah Kapeta Selekta Hukum Mu’amalah dan
kawan-kawan yang selalu mendukung dalam proses penyusunan makalah ini.
kami berharap
semoga hasil makalah ini berguna dan bermanfaat bagi semua pembaca, agar
pembaca sekalian dapat mengambil pengetahuan dari makalah yang telah kami buat.
Amin...
B. Rumusan
Masalah
1.
Apakah DNA?
2.
Bagaimanakah tes DNA itu?
3. Pandangan
ulama tentang hukum tes DNA untuk menentukan nasab?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN DNA?
DNA adalah singkatan
dari deoxyribo nucleic acid (asam deoksiribo nukleat). DNA terdapat di
mana-mana dalam tubuh Anda. Tubuh manusia terdiri dari 50 triliun sel yang
memiliki inti, di mana DNA tersimpan. DNA merupakan molekul dengan struktur
mirip tangga terpilin. Setiap tangga terdiri dari unit-unit pasangan bahan
kimia yang saling berikatan, disebut basis: Adenine, Guanine, Cytosine dan
Thymine (A,G,C,T). A selalu berpasangan dengan T dan C selalu dengan G.
Rangkaian A,G,C,T selalu berulang dalam pola yang unik, sehingga menentukan
sifat-sifat dan karakteristik unik Anda. Ada sekitar 3 milyar basis kimia dalam
tubuh manusia, dan hampir semuanya terangkai sama pada setiap orang. Bahkan,
urutan dari keempat basis itulah, yang disebut sekuens DNA, yang
bertanggungjawab membentuk dan memelihara tubuh seseorang.
DNA dapat mereplikasi
yaitu membentuk kopi dirinya sendiri. Setiap untaian DNA berisi sekuens basis
tertentu. Setiap basis juga dihubungkan oleh molekul gula dan fosfat. Bila
basis membentuk anak tangga (horizontal), maka molekul gula dan fosfat membentuk
bagian vertikal dari tangga tersebut.
Molekul-molekul DNA di
tubuh Anda tersusun dalam paket-paket yang disebut kromosom. Setiap manusia
memiliki 23 pasang kromosom. Satu dari 23 pasang kromosom itu, yang disebut
kromosom seks, berbeda pada pria dan wanita. Wanita memiliki dua kromosom X,
laki-laki memiliki kromosom X dan Y. Setiap organisme memiliki jumlah kromosom
yang berbeda. Misalnya, simpanze memiliki 24 pasang, pisang 11 pasang, dan
lalat hanya 4 pasang.
Selanjutnya, kromosom
tersusun dalam segmen-segmen pendek DNA yang disebut gen. Bila DNA adalah buku
resep, maka setiap gen adalah resepnya. Resep ini memberitahu sel-sel bagaimana
menjalankan fungsi dan mengekspresikan sifat tertentu. Manusia memiliki sekitar
25.000 gen. Gen inilah yang menentukan warna rambut, jenis rambut, warna kulit,
warna mata, dll. Misalnya, seseorang memiliki rambut hitam keriting karena
gen-gen yang diwarisi dari orangtuanya menginstruksikan sel-sel folikel rambut
untuk membentuk rambut hitam dan keriting.
B. PENGERTIAN TES DNA
Tes DNA adalah analisis terhadap pola DNA (profil genetik) seseorang. Untuk
keperluan tes DNA, sampel sel diambil dari jaringan tubuh (biasanya kulit). DNA
kemudian dimurnikan dari sel-sel tersebut dan pola variasinya dibaca dengan
mesin sekuensing DNA seperti pembacaan barcode. Hasil pembacaan barcode
DNA ini kemudian dianalisis.
DNA dari tubuh seseorang akan 100% sama, dari mana pun Anda mengambil
sampelnya. Setiap orang memiliki pola DNA yang unik, seperti halnya sidik jari.
Karena setengah dari pola DNA diwariskan dari ibu dan setengah diwariskan dari
ayah, setengah dari garis-garis dalam barcode DNA anak akan
berderet seperti pada DNA ayah, setengah lainnya seperti pada DNA ibu. Bila
tidak ada hubungan orangtua-anak, tidak akan terdapat 50% kesamaan tersebut.
DNA di antara saudara sekandung juga memiliki beberapa kesamaan, namun tidak
seperti pada orangtua-anak.
Dalam tes DNA post-mortem seperti pada korban kecelakaan pesawat
terbang, hasil tes digunakan untuk mengidentifikasi pemilik tubuh korban dan
menyatukan bagian-bagian tubuhnya yang terpisah.
http://majalahkesehatan.com/apakah-tes-dna/
C.
Hukum
islam
Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
Dalam hal ini timbul masalah bagaimana status anak yang dilahirkan wanita tersebut, apakah ia dinasabkan kepada laki-laki itu atau tidak. Jika dinasabkan berarti ia dengan laki-laki itu saling mewarisi, jika tidak, berarti juga tidak. Makalah ini akan membahas masalah terebut.
Dalam hal ini timbul masalah bagaimana status anak yang dilahirkan wanita tersebut, apakah ia dinasabkan kepada laki-laki itu atau tidak. Jika dinasabkan berarti ia dengan laki-laki itu saling mewarisi, jika tidak, berarti juga tidak. Makalah ini akan membahas masalah terebut.
Melalui pasal 99, KHI menyatakan bahwa:
Anak yang sah adalah: a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; b. hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Berdasarkan pasal - 99 ayat a - ini, jelas bahwa anak zina yang lahir setelah ibunya dinikahi penghamilnya seperti diatur dalam pasal 53 ayat 1 KHI adalah anak sah. Sebabnya ialah anak tersebut dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Anak ini bukan anak yang lahir di luar perkawinan. Anak yang lahir di luar perkawinan - menurut pasal 186 KHI - hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Oleh karena anak ini dilahirkan dalam perkawinan yang sah, maka ia saling mewaris tidak saja dengan ibu dan keluarga dari pihak ibunya, tetapi juga saling mewaris dengan bapak dan keluarga dari pihak bapaknya. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan antara anak ini dan anak yang lahir akibat perkawinan yang sah.
Anak yang sah adalah: a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; b. hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Berdasarkan pasal - 99 ayat a - ini, jelas bahwa anak zina yang lahir setelah ibunya dinikahi penghamilnya seperti diatur dalam pasal 53 ayat 1 KHI adalah anak sah. Sebabnya ialah anak tersebut dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Anak ini bukan anak yang lahir di luar perkawinan. Anak yang lahir di luar perkawinan - menurut pasal 186 KHI - hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Oleh karena anak ini dilahirkan dalam perkawinan yang sah, maka ia saling mewaris tidak saja dengan ibu dan keluarga dari pihak ibunya, tetapi juga saling mewaris dengan bapak dan keluarga dari pihak bapaknya. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan antara anak ini dan anak yang lahir akibat perkawinan yang sah.
Sekalipun
merujuk pada kitab-kitab fiqh, ternyata dalam hubungannya dengan status
anak yang lahir dalam perkawinan, KHI tidak memberi batasan,
sebagaimana fiqh. Seperti diketahui fiqh memberi tenggang waktu minimal 6
bulan antara kelahiran dan akad nikah menurut Abu Hanifah, atau antara
kelahiran dan persetubuhan yang terjadi setelah akad nikah menurut Malik
dan Syafi’i baru anak tersebut dapat dinasabkan kepada bapaknya. Jika
kurang dari 6 bulan, tidak dapat dipertalikan nasab tersebut. Dengan
demikian jika pasal 99 a KHI di atas diinterpretasikan dengan tolok ukur
fiqh Malik dan al-Syafi’i, sekalipun anak tersebut lahir begitu akad
nikah selesai, tetap tergolong anak sah sepanjang persetubuhannya
terjadi minimal 6 bulan sebelum anak tersebut dilahirkan. Sedang jika
tolok ukur fiqh Abi Hanifah yang digunakan, baru dipandang sah jika anak
tersebut lahir minimal 6 bulan setelah terjadinya akad nikah. Oleh
karena baik pasal 53 ayat 1 maupun pasal 99a KHI, bertujuan antara lain
untuk melindungi anak dimaksud, maka tolok ukur fiqh Malik dan
al-Syafi’i lebih sejalan dengan tujuan tersebut.
Fiqh
secara tegas menyatakan bahwa anak zina dapat saling mewarisi dengan
ibu dan keluarga pihak ibu. Sedang dengan bapak dan keluarga pihak bapak
tidak dapat saling mewarisi. Alasan yang dikemukakan fiqh, ialah adanya
kejelasan hubungan nasab antara anak dengan ibunya melalui adanya
indikasi bahwa ibu tersebutlah yang nyata-nyata mengandungnya. Oleh
karena itu mereka saling mewarisi. Sedang antara anak dengan bapak,
kejelasan hubungan nasab didasarkan atas adanya akad nikah dengan ibu
anak tersebut, karena tidak ada indikasi selainnya yang dapat dijadikan
pegangan. Demikianlah fiqh dahulu memberikan ketentuan.
Bagaimana
sekarang, ketika ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat? Dalam
hal ini, muncul berbagai persoalan yang terkait dengan ketentuan fiqh
di atas. Misalnya apakah hubungan nasab seorang anak dengan ibunya,
ditentukan oleh adanya kenyataan bahwa wanita itulah yang mengandungnya,
bagaimana jika janin tersebut berasal dari ovum wanita lain, sedang ia
hanya sekedar mengandungnya saja, bukan sekaligus pemilik ovum tersebut?
Bagaimana pula jika ilmu pengetahuan dan penggunaan teknologi
kedokteran dapat menentukan secara pasti hubungan genetik (nasab) antara
seorang anak dengan bapaknya melalui test deoxyribonucleic acid (DNA) ?
Tampaknya dalam hal ini berlaku prinsip: Hukum berubah mengikuti
perubahan zaman, tempat, dan keadaan (تغير الأحكام بتغير الأزمنة والأمكنة والأحوال
). Berdasarkan paradigma ini, maka hubungan nasab antara anak zina dan
bapaknya dapat ditentukan secara pasti melalui test DNA. Ini membawa
konsekuensi, keduanya saling mewarisi, termasuk juga dengan keluarga
pihak bapaknya. Natijah hukum ini didasarkan atas kaidah di atas, dan
alasan-alasan berikut:
1. Akurasi hasil test DNA sangat tinggi , sehingga lebih logis dijadikan dasar menentukan hubungan nasab, dibanding jika didasarkan atas adanya akad nikah antara bapak-ibu seorang anak, termasuk juga jika dibandingkan dengan penentuan hubungan nasab seorang anak dengan ibunya atas dasar bahwa ibunya itulah yang mengandung (padahal belum tentu anak yang dikandungnya itu berasal dari ovum ibunya sendiri).
2. Dengan diakuinya secara hukum hubungan nasab antara anak dengan bapak- nya - walaupun pada hakikatnya hasil perzinaannya - akan memberikan jaminan yang pasti bagi anak tersebut, baik berkaitan dengan kepastian nasabya, maupun dengan hak-haknya yang lain, serta akan memaksa bapak tersebut bertanggung jawab memikul konsekuensi logis dari perbuatannya sendiri.
3. Jika dengan prinsip al-walad li al-firasy , hukum Islam dapat memberikan kepastian hukum hubungan nasab antara seorang anak dan suami ibunya, maka seharusnya lebih dapat memberikan hal yang sama bagi seorang anak yang dengan pembuktian test DNA menunjukkan adanya hubungan genetika secara signifikan dengan seorang laki-laki (bapaknya). Pola istinbath ini dikenal dengan sebutan qiyas awlawiy atau mafhum muwafaqah.
1. Akurasi hasil test DNA sangat tinggi , sehingga lebih logis dijadikan dasar menentukan hubungan nasab, dibanding jika didasarkan atas adanya akad nikah antara bapak-ibu seorang anak, termasuk juga jika dibandingkan dengan penentuan hubungan nasab seorang anak dengan ibunya atas dasar bahwa ibunya itulah yang mengandung (padahal belum tentu anak yang dikandungnya itu berasal dari ovum ibunya sendiri).
2. Dengan diakuinya secara hukum hubungan nasab antara anak dengan bapak- nya - walaupun pada hakikatnya hasil perzinaannya - akan memberikan jaminan yang pasti bagi anak tersebut, baik berkaitan dengan kepastian nasabya, maupun dengan hak-haknya yang lain, serta akan memaksa bapak tersebut bertanggung jawab memikul konsekuensi logis dari perbuatannya sendiri.
3. Jika dengan prinsip al-walad li al-firasy , hukum Islam dapat memberikan kepastian hukum hubungan nasab antara seorang anak dan suami ibunya, maka seharusnya lebih dapat memberikan hal yang sama bagi seorang anak yang dengan pembuktian test DNA menunjukkan adanya hubungan genetika secara signifikan dengan seorang laki-laki (bapaknya). Pola istinbath ini dikenal dengan sebutan qiyas awlawiy atau mafhum muwafaqah.
Dengan
ditemukannya teknologi yang dapat dipergunakan untuk menentukan ada
tidaknya hubungan genetik antara seseorang dengan yang lainnya, maka
pendapat tersebut justru prospektif, termasuk juga jika dikaitkan dengan
KHI. Bahkan hukum harus mengakui adanya hubungan nasab tersebut,
sekalipun kedua orang tua itu akhirnya tidak melakukan pernikahan, jika
test DNA membuktikan adanya pertalian genetik tersebut secara
signifikan. Dengan cara demikian, tidak saja status hukum hubungan nasab
antara anak zina dan bapaknya legitimated, tetapi juga sekaligus
hak-hak anak tersebut menjadi terlindungi.
Menurut
hukum positif di Indonesia status anak zina yang lahir setelah ibunya
dinikah laki-laki penghamilnya adalah termasuk anak sah. Oleh karena itu
antara anak tersebut dan bapaknya saling mewarisi. Sekalipun yang
demikian ini bertentangan dengan jumhur ulama, akan tetapi terdapat
pendapat yang sejalan dengan hukum positif tersebut, yang jika
dilengkapi dengan test DNA justru lebih prospektif, baik bagi status
hukum anak tersebut maupun bagi kepentingan perlindungan hak-haknya.
Bahkan status dan perlindungan tersebut, juga berlaku bagi semua anak
zina, sekalipun kedua orang tuanya akhirnya tidak melakukan pernikahan,
jika test DNA membuktikan adanya hubungan genetik secara signifikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar