PENYELESAIAN
LITIGASI DAN NON LITIGASI
Makalah Ini Bertujuan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Pada Mata Kuliah “Penyelesaian Sengketa Alternatif”
xDosen
Pengampu :
SIGIT IKSAN WIBOWO
Disusun
oleh:
M Umar Saifudin (210209058)
JURUSAN SYARIAH
MU’AMALAH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI
( STAIN )
PONOROGO
September 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Syukur
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT tuhan semesta alam. Tak lupa
shalawat dan salam kita haturkan ke baginda Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga, sahabat serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Pada
kesempatan kali ini kami memilih tema “Penyelesaian
Litigasi Dan Non Litigasi” untuk makalah ini. Seperti yang
kita ketahui bahwa saat ini sudah sering kita dengar suatu penyelesaian
sengketa di luar peradilan. Maka pada kesempatan ini kami ingin mendalami
tentang penyelesaian sengketa.
kami
menyadari bahwa penulisan makalah ini belum sempurna, dan masih banyak
kesalahan. Oleh karena itu kami dengan senang hati menerima masukan berupa
kritik atau saran yang membangun dari kawan-kawan sekalian. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sigit selaku dosen mata kuliah “penyelesaian
sengketa alternatif” dan kawan-kawan yang selalu mendukung dalam proses
penyusunan makalah ini.
kami
berharap semoga hasil makalah ini berguna dan bermanfaat bagi semua pembaca,
agar pembaca sekalian dapat mengambil pengetahuan dari makalah yang telah kami
buat. Amin...
B. Rumusan
Masalah
1. Apakah PSA?
2. Bagaimana
proses penyelesaian sengketa di luar peradilan?
3. Apakah
peradilan berwenang untuk memeriksa hasil arbitase?
BAB II
PEMBAHASAN
Alternatif Penyelesaian
sengketa (APS) Istilah “alternatif” dalam APS memang dapat menimbulkan
kebingungan, seolah-olah mekanisme APS pada akhirnya – khususnya dalam sengketa
bisnis – akan menggantikan proses litigasi di pengadilan. Dalam kaitan ini
perlu dipahami terlebih dahulu bahwa APS adalah mekanisme penyelesaian sengketa
yang berdampingan dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Selanjutnya,
APS lazimnya dilakukan di luar yurisdiksi pengadilan. Sama seperti istilah
“pengobatan alternatif”, bahwa “pengobatan alternatif” sama sekali tidak mengeliminasi
“pengobatan dokter”. Bahkan terkadang keduanya saling berdampingan. Begitu juga
dengan APS dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan dapat berjalan saling
berdampingan. Oleh karena itu, para hakim tidak perlu khawatir dengan
digunakannya mekanisme APS, pengadilan menjadi kurang pekerjaannya.
Ada beberapa pendapat
mengenai APS atau Alternative Dispute Resolution (ADR).
1. APS adalah mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dalam
konteks ini, mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat berupa
penyelesaian sengketa melalui arbitrase, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan
lain-lain.
2. APS adalah forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan arbitrase.
Hal ini mengingat penyelesaian sengketa melalui APS tidak dilakukan oleh pihak
ketiga. Sedangkan dalam forum pengadilan atau arbitrase, pihak ketiga (hakim
atau arbiter) mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa. APS di sini hanya
terbatas pada teknik penyelesaian sengketa yang bersifat kooperatif, seperti
halnya negosiasi,mediasi, dan konsiliasi, serta teknik-teknik penyelesaian
sengketa kooperatif lainnya.
3. APS adalah seluruh penyelesaian sengketa yang tidak melalui pengadilan
tetapi juga tidak terbatas pada arbitrase, negosiasi, dan sebagainya. Dalam
konteks ini, yang dimaksud dengan APS termasuk juga penyelesaian sengketa yang
diatur oleh peraturan perundang-undangan, tetapi berada di luar pzengadilan,
seperti Badan Penyelesaian sengketa Pajak (BPSP), Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU), dan sebagainya.Teknik atau prosedur teknis APS di luar pengadilan
yang sudah lazim dilakukan adalah: negosiasi, konsiliasi, mediasi, dan
arbitrase.
Arbitrase merupakan
cara yang paling dikenal dan paling banyak digunakan oleh kalangan bisnis dan
hukum. Teknik negosiasi, mediasi, dan konsiliasi tidak dikenal di Indonesia.
Namun, secara tidak sadar masyarakat Indonesia telah menerapkan mekanisme APS,
yakni yang disebut musyawarah untuk mufakat. Asas musyawarah untuk mufakat
telah lama dikenal dan dipromosikan oleh pemerintah sebagai suatu budaya bangsa
Indonesia.
Meskipun APS tidak
dianggap sebagai pengganti dari forum pengadilan, namun jangan dilupakan bahwa
faktanya APS dianggap sebagai alternatif oleh mereka yang sangat kritis
terhadap sistem peradilan Indonesia. Kelambanan proses perkara ( di Mahkamah
Agung ) dilihat sebagai kelemahan dari sistem peradilan dewasa ini. Kelemahan
lainnya adalah sebagai kelemahan dari sistem peradilan dewasa ini. Kelemahan
lainnya adalah berpolitik, persengkokolan (KKN), dan tuduhan bahwa mereka
bobrok atau rusak.
Mekanisme penyelsaian
nonlitigasi Penyelesaian sengketa non litigasi dapat dilakukan dengan cara :
1. adjudikasi/adversarial/litigasi ciri-cirinya : para pihak berhadap-hadapan
untuk saling mengalahkan, diadakan di pengadilan,hasilnya berupa putusan.
2. Non adjudikasi/non litigasi Ciri utamanya keputusanya berupa kesepakatan
/agreement Cara penyelesaian sengketa alternatif menurut UU No.30 tahun 1999
adalah :
1. Arbitrase
Arbitrase penyelesaian pertentangan oleh pihak ketiga yang dipilah oleh
kedua belah pihak. Pengertian arbitrase termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang
Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999: “Lembaga
Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk
memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat
memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam
hal belum timbul sengketa.”
Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa:
”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”
”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”
Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam
lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah
perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik
guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.
Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitase banyak digunakan sebagai
pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase
bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan
pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan
terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap
perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat
dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.
Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap) sehingga ketua pengadilan tidak
diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase
nasional tersebut.
Dalam jurisprudensi, kita mengetahui ada suatu kasus yaitu Arrest Artist de
Labourer dimana perkara tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri padahal sudah
memuat klausul arbitrase untuk penyelesaian sengketanya. Pada praktek saat ini
juga masih dijumpai pengadilan negeri yang melayani gugatan pihak yang kalah
dalam arbitrase.
Melihat permasalahan diatas, maka timbul beberapa pertanyaan :
1. Apakah Pengadilan berwenang memeriksa perkara yang sudah dijatuhkan putusan
arbitrasenya?
2. Sejauh mana keterkaitan antara pengadilan dengan lembaga arbitrase?
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah
cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang
didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.
Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang
dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo).
2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul
sengketa (Akta Kompromis).
Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur
dalampasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada
penjelasanpasal 3 ayat(1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang
Pokok-PokokKekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di
luarPengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.
a. Sejarah Arbitrase
Keberadaan arbitrase
sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama
dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia
bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het
Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitesten (RBg),
karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of de rechtvordering.
Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan
diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor 14
tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat
dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa
penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui
arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai
kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi
dari Pengadilan.
b. Objek Arbitrase,
Objek perjanjian
arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga
arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut
Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah
sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam
bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman
modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU
Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap
tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut
peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur
dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
c. Jenis-jenis Arbitrase
Arbitrase dapat berupa
arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen
(institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang
sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules.
Pada umumnya arbitrase ad-hoc direntukan berdasarkan perjanjian yang
menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang
disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam
sebuah klausul arbitrase.
Arbitrase institusi
adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase
berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal
berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The
Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris,
The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of
Investment Disputes (ICSID) di Washington.
Badan-badan tersebut
mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausul arbitrase sebagai berikut:"Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir".
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausul arbitrase sebagai berikut:"Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir".
Standar klausul
arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission of International Trade Law) adalah
sebagai berikut:"Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi
atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah
tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan
aturan-aturan UNCITRAL.”
Menurut Priyatna
Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kali adalah klausul arbitrase.
Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknya klausul arbitrase, akan menentukan
apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna
menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah
sengketa timbul.
d. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Keunggulan arbitrase
dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 30 tahun 1999
dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase
dibandingkan dengan pranata peradilan.
Keunggulan itu adalah :
kerahasiaan sengketa para pihak terjamin ;· keterlambatan yang diakibatkan
karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari para pihak dapat
memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukup mengenai
masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil, para pihak dapat menentukan
pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya.
para pihak dapat
memilih tempat penyelenggaraan arbitrase putusan arbitrase merupakan putusan
yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Disamping keunggulan
arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase.
Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih
sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk
eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas.
1. Keterkaitan antara Arbitrase dengan Pengadilan
2. Hubungan Arbitrase dan Pengadilan
Lembaga arbitrase masih
memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan
arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan
negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya
pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya.
Peranan pengadilan
dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis
arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 (3)) dan dalam hal
pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun nasional yang harus dilakukan melalui
mekanisme sistem peradilan yaitu pendafataran putusan tersebut dengan
menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengembil
tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Pelaksanaan Putusan Arbitrase
1. Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan
arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya
para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase
dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan
pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar
asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau
kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat
mandiri, final ddan mengikat.
Putusan Arbitrase
nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai
kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan
memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut.
Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada
pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan
oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999
sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah
putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase
internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak
permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun
2. Putusan Arbitrase Internasional
Semula pelaksanaan
putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi
Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi
tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada
tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention on the
Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah
mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun
1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981.
Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1
tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan
dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut
hambatan bagi pelaksanaan putusa n arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa
diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi
putusan arbitrase asing.
Kewenangan Pengadilan
Memeriksa Perkara yang Sudah Dijatuhkan Putusan Arbitrasenya
Lembaga Peradilan
diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat dalam Pasal
11 ayat (2) UU No.30 tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak
berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian
arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam
suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Hal
tersebut merupakan prinsip limited court involvement.
Dalam prakteknya masih
saja ditemukan pengadilan yang menentang, bahkan ketika arbitrase itu sendiri
sudah menjatuhkan putusannya. Seperti dalam kasus berikut:
Dalam kasus Bankers
Trust Company dan Bankers Trust International PLC (BT) melawan PT Mayora Indah
Tbk (Mayora), PN Jakarta Selatantetap menerima gugatan Mayora (walaupun ada
klausul arbitrase didalamnya) dan menjatuhkan putusan No.46/Pdt.G/1999 tanggal
9 Desember 1999, yang memenangkan Mayora. Ketua PN Jakarta Pusat dalam putusan
No.001 dan 002/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST juncto 02/Pdt.P/2000/PNJKT.PST,
tanggal 3 Februari 2000, menolak permohonan BT bagi pelaksanaan putusan
Arbitrase London, dengan alasan pelanggaran ketertiban umum, pelanggaran
ketertiban umum yang dimaksud adalah bahwa perkara tersebut masih dalam proses
peradilan dan belum memiliki kekuatan hukum tetap. Penolakan PN Jakarta Pusat
tersebut dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung No.02 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000,
tanggal 5 September 2000.
Kasus diatas adalah
salah satu contoh dimana pengadilan menentang lembaga arbitrase. Sebelumnya
telah jelas bahwa pengadilan tidak boleh mencampuri sengketa para pihak yang
telah terikat perjanjian arbitrase. Lalu apakah ada alasan-alasan yang dapat
membenarkan pengadilan memeriksa perkara para pihak yang sudah terikat dengan
klausul arbitrase? Dalam jurisprudensi salah satu contoh adalah Arrest Artist
de Labourer.
Arrest HR 9 Februari
1923, NJ. 1923, 676, Arrest “Artis de Laboureur”(dimuat dalam Hoetink, hal. 262
dsl.)
Persatuan Kuda Jantan (
penggugat ) telah mengasuransikan kuda Pejantan bernama Artis de Laboureur
terhadap suatu penyakit /cacad tertentu, yang disebut cornage. Ternyata pada
suatu pemeriksaan oleh Komisi Undang2 Kuda, kuda tersebut dinyatakan di-apkir,
karena menderita penyakit cornage. Penggugat menuntut santunan ganti rugi dari
Perusahaan Asuransi. Didalam Polis dicantumkan klausula yang mengatakan, bahwa
sengketa mengenai Asuransi, dengan menyingkirkan Pengadilan, akan diputus oleh
Dewan Asuransi Perusahaan Asuransi, kecuali Dewan melimpahkan kewenangan
tersebut kepada suatu arbitrage. Dewan Asuransi telah memutuskan untuk tidak
membayar ganti rugi kepada penggugat. Penggugat mengajukan gugatan dimuka
Pengadilan. Sudah tentu dengan alasan adanya klausula tersebut diatas, maka
tergugat membantah dengan mengemukakan, bahwa Pengadilan tidak wenang untuk
mengadili perkara ini.
Pengadilan ‘s
Gravenhage a.l. telah mempertimbangkan: Setelah Pengadilan menyatakan dirinya
wenang memeriksa perkara tersebut, maka Pengadilan menyatakan, bahwa keputusan
Dewan Asuransi harus disingkirkan, karena keputusan tersebut tidak didasarkan
kepada suatu penyelidikan yang teliti dan bahkan Dewan menganggap tidak perlu
mendengar pihak penggugat, sehingga perjanjian itu tidak telah dilaksanakan
dengan itikad baik. Pengadilan mengabulkan tuntutan uang santunan ganti – rugi
sampai sejumlah uang tertentu.
Pihak Asuransi naik bandingHof Amsterdam dalam
keputusannya a.l. telah mempertimbangkan: Bahwa memang benar, bahwa berdasarkan
Polis ybs., para pihak sepakat untuk menyerahkan sengketa mengenai Asuransi
tersebut kepada Dewan Asuransi Perusahaan Asuransi. Sekalipun terhadap
keputusan Dewan, yang diambil dengan tanpa aturan main yang pasti, dan bersifat
mutlak, yang dikeluarkan oleh pihak yang tidak netral, mungkin saja ada
keberatan-keberatan, namun para pihak telah membuatnya menjadi undang-undang
bagi mereka, karena telah terbentuk melalui kesepakatan para pihak, yang tidak
ternyata bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan, sehingga
permasalahannya adalah, apakah ketentuan perjanjian itu, oleh Dewan, tidak
telah dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana pendapat dari Pengadilan
Amsterdam, pertanyaan mana menurut pendapat Hof, karena mengenai pelaksanaan
suatu perjanjian, adalah masuk dalam kewenangan Hakim.
Hof, untuk menjawab
permasalahan tersebut, setelah mengemukakan patokan, bahwa itikad baik
dipersangkakan dan tidak adanya itikad baik harus dibuktikan, telah menerima
fakta-fakta yang disebutkan dalam keputusan Dewan sebagai benar, a.l. :………“
bahwa menurut pendapat Hof keputusan tersebut( maksudnya : keputusan Dewan,
penj.pen.) …….adalah tidak sedemikian rupa, sehingga dapat dianggap tidak telah
diberikan dengan itikad baik, dan bahwa itikad buruk pada pelaksaan perjanjian,
sepanjang mengenai pengambilan keputusan oleh Dewan Asuransi, tidak telah
dibuktikan “ atas dasar mana Hof menyatakan keputusan Dewan Asuransi tidak bisa
dibatalkan oleh Hakim dan karenanya membatalkan keputusan Pengadilan Amsterdam.
Persatuan Kuda Jantan naik kasasi.
Catatan : Pengadilan
menganggap dirinya wenang untuk menangani perkara tersebut dan menyatakan
keputusan Dewan tidak melanggar itikad baik Pokok pertanyaan dalam pemeriksaan
kasasi ini ternyata adalah, apakah maksud ayat ke-3 Ps. 1374 B.W. ( Ps. 1338
ayat 3 Ind ) dengan itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian harus dinilai
dengan patokan, subyektif - suatu sikap batin tertentu dari si pelaksana - atau
obyektif - suatu cara pelaksanaan. HR meninjau, apakah isi keputusan Dewan
Asuransi, sebagai pelaksanaan dari perjanjian Asuransi antara Penggugat dengan
Perusahaan Asuransi, memenuhi tuntutan itikad baik, memenuhi kepantasan dan
kepatutan menurut ukuran orang normal pada umumnya dalam masyarakat ybs. Disini
dipakai ukuran itikad baik yang obyektif
Dalam Arrest Artist de
Labourer ini pengadilan menyatakan berwenang memeriksa karena yang diperiksa
bukanlah pokok perkaranya melainkan cara pengambilan keputusannya, apakah Dewan
Asuransi sudah mengambil keputusan berdasarkan itikad baik yang sesuai dengan
asas kepatutan dan kepantasan. Itikad baik disini memiliki dua kemungkinan
yaitu itikad baik objektif atau subjektif, dimana Hof dan Hoge Raad kemudian
menilai bahwa itikad baik yang objektif lah yang dipakai.
Berdasarkan pasal 1338
(3) suatu perjanjian harus didasarkan atas asas itikad baik. Itikad baik adalah
suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih
banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa di pengadilan. Itikad baik
dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan.
Perjanjian harus dilaksanakan dengan menafsirkannya agarsesuai dengan kepatutan
dan kepantasan, sesuai dengan pasal 1339 B.W., yang menyatakan bahwa, ” suatu
perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan
didalmnya tapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang”. Itikad baik dapat
dibedakan menjadi itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik
subjektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya
bertentangan dengan itikad baik, sedang itikad baik objektif adalah kalau
pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan
itikad baik.
Dalam kasus Bankers
Trust melawan Mayora sungguh aneh karena mengetengahkan ketertiban umum sebagai
salah satu alasan. Seharusnya PN Jakarta Selatan menolak untuk memeriksa
perkara tersebut karena bukan merupakan kewenangannya, tidak diajukan atas
dasar adanya perbuatan melawan hukum, dan dengan Mayora mengajukan perkara
tersebut ke pengadilan negeri padahal saat itu arbitrase sedang berjalan,
menunjukkan bahwa Mayora tidak beritikad baik dalam pelaksanaan perjanjian
tersebut. Dalam hal ketertiban umum, yang dimaksud ketertiban umum oleh hakim
adalah perkara tersebut sedang dalam proses di pengadilan hukum di pengadilan,
alasan seperti ini seharusnya tidak bisa dijadikan alasan ketertiban umum. Apa
yang telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah melanggar
ketentuan Pasal 11 UU No.30 Tahun 1999, dan sayangnya Mahkamah Agung justru
menguatkan putusan ini.
Ketertiban umum
dijadikan dalih untuk menolak permohonan arbitrase. Ketertiban umum sendiri
adalah suatu sendi-sendi asasi dari hukum suatu negara. UU Arbitrase pada
bagian penjelasannya tidak mendefinisikan atau membatasi ketertiban umum.
Akibatnya, definisi ketertiban umum dijadikan legitimasi bagi salah satu pihak
untuk meminta pembatalan eksekusi dari Pengadilan Negeri. Sulit untuk
mengklasifikasikan putusan arbitrase yang bertentangan dengan ketertiban umum,
namun dapat digunakan kriteria sederhana sebagai berikut :
1. Putusan arbitrase melanggar prosedur arbitrase yang diatur dalam peraturan
perundangan negara, misalnya kewajiban untuk mendaftarkan putusan arbitrase di
pengadilan setempat tidak dilaksanakan.
2. Putusan arbitrase tidak memuat alasan-alasan, padahal peraturan
perundang-undangan negara tersebut mewajibkannya.
3. Jika salah satu pihak tidak mendapat kesempatan untuk didengar
argumentasinya sebelum putusan arbitrase dijatuhkan. ketertiban umum yang
dijadikan dalih PN Jakarta Selatan untuk menolak permohonan Bankers Trust tidak
termasuk ketertiban umum yang sudah diuraikan diatas. Pengadilan Jakarta
Selatan juga telah melakukan kesalahan karena memeriksa isi perkara dan bukan
sekedar memeriksa penerapan hukumnya saja seperti dalam arrest Artist de
Labourer.
4. Pada intinya terhadap perkara yang sudah memiliki klausul arbitrase tidak
bisa diajukan ke pengadilan negeri, dan untuk perkara yang sudah dijatuhkan
putusan arbitrasenya tidak bisa diajukan lagi ke pengadilan, kecuali apabila
ada perbuatan melawan hukum, sehingga pihak yang dirugikan bisa menggugat ke
pengadilan negeri atas dasar perbuatan melawan hukum dalam hal pengambilan
putusan arbitrase yang tidak berdasar itikad baik.
2. KONSILIASI
Konsiliasi suatu usaha mempertemukan pihak-pihak yang berselisih bagi
tercapainya persetujuan bersama
Konsiliasi, adalah lembaga perorangan atau swasta
mandiri yang diangkat dan diberhentikan dalam periode tertentu melalui
Kepmenaker RI. Fungsi lembaga ini adalah menerima jasa bantuan/pelayanan hukum
bidang ketenagakerjaan dari salah satu pihak atau pihak beperkara yang
mengajukan permohonan penyelesaian secara tertulis. Terutama perselisihan hak,
kepentingan antara pengusaha dan pekerja, PHK. Setiap jasa bantuan hukum yang
diberikan oleh lembaga konsiliasi ini dibayar oleh negara, yang besarnya
ditentukan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI.
Apabila dalam perundingan di tingkat konsiliasi ini
terjadi kesepakatan para pihak, maka dibuat Perjanjian Bersama yang
ditandatangani kedua belah pihak beperkara. Selanjutnya didaftarkan di PHI
untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran. Sebaliknya apabila tidak terjadi
kesepakatan, maka pihak yang merasa kurang puas atau tidak sesuai dengan
tuntutannya dapat mengajukan surat gugatan ke PHI.
Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi ini harus
tuntas dalam waktu 30 hari kerja, terhitung sejak menerima permintaan dari
salah satu pihak atau para pihak yang beperkara dalam satu perusahaan
3. NEGOISASI
Negoisasi adalah proses kreatif yang mempertemukan pihak-pihak yang
memiliki model idealnya sendiri, memiliki pandangan sendiri-sendiri mengenai
apa yang seharusnya dicapai Ada tiga hal yang harus diperhatikan sebagai isu
kunci dalam negosiasi:
(1) Menangkap kesempatan, Kesempatan harus dilihat
dalam setiap krisis. Keadaan buntu dapat menjadi masa steril yang menghambat
kemajuan, namun jika dapat melihat kesempatan dengan jeli maka kebuntuan dapat
menjadi awal dari kesempatan untuk mencari penemuan yang dapat menyatukan
model-model ideal tiap pihak. Mudahnya, ketika kebuntuan dating maka negosiasi
dapat menjadi usul yang menarik untuk membuat perubahan dan mempertemukan
kepentingan.
(2) Pentingnya kepercayaan. Meski fokus negosiasi
cenderung pada isu, namun keberhasilan negosiasi sangat bergantung pada
negosiator serta manusia-manusia yang berkepentingan dalam negosiasi tersebut.
Proses negosiasi yang baik adalah memajukan hubungan dari pihak-pihak yang
bertikai. Karena itulah perlu adanya derajat kepercayaan sampai level tertentu
pada pihak-pihak bertikai agar dapat saling duduk dan bernegosiasi. Biasanya
pihak-pihak akan bertahan pada model ideal masing-masing, disinilah dialog
menjadi penting. Kepercayaan fungsional (cukup pada derajat tertentu saja berhubungan
dengan proses negosiasi) menjadi penting karena untuk kesepakatan maka persepsi
soal pihak “musuh” harus diubah dan model ideal harus beradaptasi
(3)Fleksibilitas. Keberhasilan atau kegagalan
negosiasi tidak terukur di awal proses. Bukan tidak mungkin tujuan dan target
berubah sepanjang proses negosiasi. Bahkan parameter serta aturan dasar bisa
juga ikut diadaptasi. Ketika Parameter proses membutuhkan rancangan dan
kesepakatan, maka proses perancangan dan pembuatan kesepakatan harus dapat sefleksibel
mungkin untuk dapat menghadapai kemungkinan apapun di masa depan. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, persepsi soal pihak “musuh” harus diubah, dan
model ideal harus dilenturkan, masing-masing negosiator harus dapat mengenmabkan
pengertian yang sama.
4. MEDIASI
Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak
dengan dibantu oleh mediator (Perma No. 2 tahun 2003, pasal 1 ayat (6)).
a. Siapakah yang melakukan mediasi ?
Seperti yang tersebut dalam pengertian mediasi ada mengutip kata “para
pihak”Para pihak tersebut adalah dua orang atau lebih yang bersengketa dan
membawa sengketa mereka ke Pengadilan tingkat pertama untuk memperoleh
penyelesaian. (pasal 1 ayat (7) Perma No. 2 tahun 2003) Mediasi yang dilakukan
harus menggunakan bantuan mediator.
Mediator dapat ditentukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa “apakah yang
menjadi mediator tersebut hakim pengadilan tingkat pertama atau pihak lain”
yang tentu saja baik hakim maupun pihak lain tersebut sudah memiliki sertifikat
sebagai mediator.
Mediator itu dapat diartikan sebagai pihak yang bersifat netral dan tidak
memihak, yang berfungsi membantu parra pihak dalam mencari berbagai kemungkinan
penyelesaian sengketa.
Tidak sebagaimana halnya seorang hakim atau arbiter, seorang mediator tidak
dalam posisi (tidak mempunyai kewenangan) untuk memutus sengketa para pihak.
Tugas dan kewenangan mediator hanya membantu dan memfasilitasi pihak-pihak yang
bersengketa dapat mencapai suatu keadaan untuk dapat mengadakan kesepakatan
tentang hal-hal yang disengketakan. “The assumption…….is that third party will
be able to alter the power and social dynamics of the conflict relationship by
influencing the beliefs and behaviors of individual parties, by providing
knowledge and information , or by using a more effective negotiation process
and thereby helping the participants to settle contested issues” (Goodpaster,
Tinjauan Dalam Penyelesaian Sengketa, dalam Soebagjo dan Radjagukguk, 1995 :
11-12 )
b. Kapan mediasi itu dilakukan ?
Mediasi dilakukan pada saat suatu perkara perdata diajukan ke pengadilan
tingkat pertama. Mediasi bersifat wajib untuk dilakukan pada semua perkara
perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama. Proses mediasi berlangsung
paling lama 22 hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan mediator.
c. Mengapa mediasi itu dilakukan ?
Mediasi tersebut dilakukan karena sesuai yang tersebut di dalam Perma No.2
tahun 2003 pasal 2 ayat (1) yaitu “semua perkara yang diajukan ke pengadilan
tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan
bantuan mediator”
Mediasi adalah Non-Coercive. Ini berarti bahwa tidak ada suatu sengketa
(yang diselesaikan melalaui jalur mediasi) akan dapat diselesaikan, kecuali hal
tersebut disepakati / disetujui bersama oleh pihak-pihak yang bersengketa.
d. Dimanakah mediasi itu dilakukan ?
(pasal 15 Perma No. 2 tahun 2003) Adapun mediasi tersebut diselenggarakan
disalah satu ruang pengadilan tingkat pertama atau ditempat lain yang
disepakati oleh para pihak.
Proses mediasi ini sendiri tentu saja memerlukan biaya dan biaya tersebut
akan gratis jika suatu perkara perdata tersebut dalam melaksanakan proses
mediasinya menggunakan tempat di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama.
e. Bagaimana Proses Mediasi ?
Proses mediasi ini dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap pra mediasi dan tahap
mediasi. Sebelum melakukan mediasi terdapat pra mediasi dimana prosesnya
tertulis jelas didalam Perma No.2 tahun 2003 bab II yaitu :
Pasal 3
(1) Pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, hakim
mewajibkan para pihak yang berperkara agar lebih dahulu menempuh mediasi.
(2) Hakim wajib menunda proses persidangan perkara itu untuk memberikan
kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.
(3) Hakim wajib memberikan penjelasan kepada para pihak tentang prosedur
dan biaya
(4) Dalam hal para pihak memberikan kuasa kepada kuasa hukum, setiap
keputusan yang diambil oleh kuasa hukum wajib memperoleh persetujuan tertulis
dari para pihak.
Pasal 4
(1) Dalam waktu paling lama satu hari kerja setelah
sidang pertama, para pihak dan atau kuasa hukum mereka wajib berunding guna
memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan atau mediator
di luar daftar pengadilan.
(2) Jika dalam waktu satu hari kerja para pihak atau
kuasa hukum mereka tidak dapat bersepakat tentang penggunaan mediator di dalam
atau di luar daftar pengadilan, para pihak wajib memilih mediator dari daftar
mediator yang disediakan oleh pengadilan tingkat pertama.
(3) Jika dalam satu hari kerja para pihak tidak dapat
bersepakat dalam memilih seorang mediator dari daftar yang disediakan oleh
pengadilan, ketua majelis berwenang untuk menunjuk seorang mediator dari daftar
mediator dengan penetapan.
(4) Hakim yang memeriksa suatu perkara, baik sebagai
ketua majelis atau anggota majelis, dilarang bertindak sebagai mediator bagi
perkara yang bersangkutan.
Pasal 5
Pasal 5
(1) Proses mediasi yang menggunakan mediator di luar
daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan, berlangsung paling lama tiga
puluh hari kerja.
(2) Setelah waktu tiga puluh hari kerja terpenuhi para
pihak wajib menghadap kembali pada hakim pada sidang yang ditentukan.
(3) Jika para pihak mencapai kesepakatan, mereka dapat
meminta penetapan dengan suatu akta perdamaian.
(4) Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan yang
tidak dimintakan penetapannya sebagai suatu akta perdamaian, pihak penggugat
wajib menyatakan pencabutan gugatannya.
Pasal 6
(1) Mediator pada setiap pengadilan berasal dari
kalangan hakim dan bukan hakim yang telah memiliki sertifikat sebagai mediator.
(2)Setiap pengadilan memiliki sekurang-kurangnya dua
orang mediator.
(3)Setiap pengadilan wajib memiliki daftar mediator
beserta riwayat hidup dan pengalaman kerja mediator dan mengevaluasi daftar
tersebut setiap
Pasal 7
Mediator dan para pihak
wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur
Perma No.2 tahun 2003 bab III yaitu :
Pasal 8
Dalam waktu paling lama
tujuh hari kerja setelah pemilihan atau penunjukan mediator, para pihak wajib
menyerahkan fotokopi dokumen yang memuat duduk perkara, fotokopi surat-surat
yang diperlukan, dan hal-hal yang terkait dengan sengketa kepada mediator dan
para pihak.
Pasal 9
(1) Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk
penyelesaian proses mediasi.
(2) Dalam proses mediasi para pihak dapat didampingi
oleh kuasa hukumnya.
(3) Apabila dianggap
perlu, mediator dapat melakukan kaukus.
(4) Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri
dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang
terbaik bagi para pihak.
(5) Dengan hasil akhir tercapainya kesepakatan atau
ketidaksepakatan, proses mediasi berlangsung paling lama dua puluh dua hari
kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan mediator.
Pasal 10
(1) Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang
seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau
pertimbangan yang dapat membantu para pihak dalam penyelesaian perbedaan.
(2) Semua biaya jasa seorang ahli atau lebih ditanggung oleh para pihak
berdasarkan kesepakatan.
Pasal 11
(1) Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak
dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang
dicapai dan ditandatangani oleh para pihak.
(2) Kesepakatan wajib memuat klausula pencabutan
perkara atau pernyataan perkara telah selesai.
(3) Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan,
mediator wajib memeriksa materi kesepakatan untuk menghindari adanya
kesepakatan yang bertentangan dengan hukum.
(4) Para pihak wajib menghadap kembali pada hakim pada
hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan telah dicapainya
kesepakatan.
(5)Hakim dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu
akta perdamaian.
Pasal 12
Pasal 12
(1) Jika dalam waktu seperti yang ditetapkan dalam
Pasal 9 ayat (5) mediasi tidak menghasilkan kesepakatan, mediator wajib
menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan
kegagalan kepada hakim.
(2) Segera setelah diterima pemberitahuan itu, hakim
melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan Hukum Acara yang berlaku.
Pasal 13
(1) Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan,
pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan
sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau
perkara lainnya.
(2) Fotokopi dokumen dan notulen atau catatan mediator
wajib dimusnahkan.
(3) Mediator tidak dapat diminta menjadi saksi dalam
proses persidangan perkara yang bersangkutan.
Pasal 14
(1) Proses mediasi pada asasnya tidak bersifat terbuka
untuk umum, kecuali para pihak menghendaki lain.
(2) Proses mediasi untuk sengketa publik terbuka untuk
umum.
f. Unsur-Unsur Mediasi
1. Dalam suatu proses mediasi akan dijumpai adanya dua
atau lebih pihak-pihak yang bersengketa.
2. Dengan demikian :
a. Jika dalam suatu proses mediasi hanya dijumpai adanya suatu pihak yang
bersengketa, maka hal itu menjadikan tidak terpenuhinya unsur-unsur pihak-pihak
yang bersengketa.
b. Adanya Unsur “Sengketa” diantara para pihak
3. Adanya “Mediator” yang membantu mencoba menyelesaikan
sengketa diantara para pihak
- Mediator harus mempunyai kemampuan dan keahlian
sehubungan dengan bidang/masalah yang disengketakan.
- Mediator juga tidak boleh mempunyai benturan
kepentingan /hubungan afiliasi dengan pihak-pihak dalam sengketa masalah yang disengketakan.
(Lihat, Soebagjo
dan Radjagukguk, 1995 : 16)
g. Tujuan Mediasi
1. Utama
- Membantu mencarikan jalan keluar/alternative penyelesaian
atassengketa yang timbul diantara para pihak yang disepakati dan dapat diterima
oleh para pihak yang bersengketa.
- Dengan demikian proses negosiasi adalah proses yang
forward lookingdan bukan backward looking. Yang hendak dicapai bukanlah mencari
kebenaran dan/atau dasar hukum yang diterapkan namun lebih kepada penyelesaian
masalah. “The goal is not truth finding or law imposing, but problem solving”
(Lovenheim, 1996 :1.4)
2. Tambahan
a. Melalui proses mediasi diharapkan dapat dicapai
terjalinnya komunikasi yang lebih baik diantara para pihak yang bersengketa.
b. Menjadikan para pihak yang bersengketa dapat
mendengar,memahami alasan/ penjelasan/ argumentasi yang menjadi dasar/pertimbangan
pihak yang lain.
c. Dengan adanya pertemuan tatap muka, diharapkan
dapat mengurangi rasa marah/bermusuhan antara pihak yang satu dengan yang lain.
memahami kekurangan/kelebihan/kekuatan masing-masing, dan halini diharapkan
dapat mendekatkan cara pandangdari pihak-pihak yang bersengketa, menuju suatu
kompromi yang dapat diterima para pihak.
h. Sengketa-Sengketa Yang Dapat Diselesaikan Melalui
Mediasi
1. Dapat dikatakan bahwa Mediasi dapat diterapkan dan
dipergunakan untuk mempergunakan sebagai cara penyelesaian sengketa diluar
jalur pengadilan (“Out-of court Settlement”) untuk sengketa pertada yang timbul
diantara para pihak, dan bukan perkara pidana. Dengan demikian, setiap sengketa
perdata dibidang perbankan (termasuk yang diatur dalam PBI No.8/5/PBI/2006)
dapat diajukan dan untuk diselesaikan melalui Lembaga Medasi Perbankan.
2. Bagaimana jika sengketa diantara pihak ternyata
tidak hanya menyangkut sengketa perdata tapi sekaligus juga sengketa pidana dan
mungkin jugasengketa Tata Usaha Negara ?
3. Yang pasti merupakan cakupan dari Lembaga mediasi
adalah sengketa-sengketa di bidang perdata. Namun demikian, dalam praktek
seringkali para pihak sepakat bahwa penyelesaian sengketa perdata yang
disepakati denganmusyawarah mufakat (melalui mediasi), akan dituangkan dalam
suatu perjanjian perdamaian, dan dipahami juga bahwa walau para pihak tidak
dapat dibenarkan membuat perjanjian perdamaian bagi perkara pidana mereka dapat
menggunakan perjanjian perdamaian atas sengketa perdata mereka sebagai dasar
untuk dengan itikad baik sepakat tidak melanjutkan perkara pidana yang timbul
diantara mereka dan/atau mencabut laporan perkara pidana tertentu, sebagaimana
dimungkinkan.
PENUTUP
Kesimpulan
Pengadilan tidak berwenang memeriksa kembali perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum terkait dengan pengambilan putusan arbitrase dengan itikad tidak baik, dan apabila putusan arbitrase itu melanggar ketertiban umum.
Pengadilan tidak berwenang memeriksa kembali perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum terkait dengan pengambilan putusan arbitrase dengan itikad tidak baik, dan apabila putusan arbitrase itu melanggar ketertiban umum.
Peradilan harus menghormati lembaga arbitrase, tidak turut campur, dan
dalam pelaksanaan suatu putusan arbitrase masih diperlukan peran pengadilan,
untuk arbitrase asing dalam hal permohonan eksekuator ke pengadilan negeri.
Pada prakteknya walaupun pengaturan arbitrase sudah jelas dan
pelaksanaannya bisa berjalan tanpa kendala namun dalam eksekusinya sering
mengalami hambatan dari pengadilan negeri.
DAFTAR PUSTAKA
background hitam sama tulisan nya putih bukan malah keren bro. tambah pusing mata meliat nya hadeh. sekedar saran aja
BalasHapus